BAB I
PENDAHULUAN
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Kedua bagian ini bagaikan sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ada yang
berfikir bahwa bagi orang percaya cukup mempelajari dan menghidupi Perjanjian
Baru karena Perjanjian Lama tidak begitu begitu penting. Akan tetapi mereka
lupa bahwa untuk memahami Perjanjian Baru dengan benar, seseorang harus memahami
konteks dimana Perjanjian Baru itu muncul, kenapa ada perjanjian Baru? Hal ini
perlu dipertimbangkan dengan matang. Sebaliknya ada juga orang yang terlalu
peduli tentang Perjanjian Lama sehingga tidak memahami bahwa sudah ada
Perjanjian yang Baru akibatnya banyak orang yang masih membawah konsep
Perjanjian Lama kedalam Perjanjian Baru.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Teologi
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memiliki konsep Teologi yang cukup berbeda.
Salah satu perbedaan yang mencolok adalah mengenai berkat. Dalam Perjanjian
Lama konsep berkat selalu dikaitkan dengan hal jasmani, sehingga orang yang
diberkati selalu identic dengan kekayaan atau uang. Artinya orang yang takut
akan Tuhan dan melakukan apa yang diperintahkan Tuhan akan diberkati dengan berbagai
berkat jasmani atau kekayaan dan uang. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang
dilihat dalam Perjanjian Baru, dimana dalam Perjanjian Baru selalu berfokus
pada berkat Rohani.
Fenomena yang banyak dilihat dalam gereja
hari ini adalah banyak orang Kristen yang menganggap kekayaan, uang atau
kemakmuran adalah berkat yang besar dari Tuhan. Bahkan menurut pengamatan penulis
hampir 70-80 persen orang Kristen bersaksi di gereja oleh karena memperoleh
hal-hal yang bersifat jasmani. Tidak dipungkiri bahwa semua hal yang baik
berasal dari Tuhan, tetapi uang tidak selamanya baik. Melihat fenomena ini,
akan muncul sebuah pertanyaan penting, apakah uang atau kekeyaan merupakan
berkat Tuhan? Mungkin ini akan sedikit kontrofersi, tetapi penulis akan
berusaha secara objektif menjelaskannnya dari Perspektif Alkitab.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep
Berkat Dalam Perjanjian Lama
Seperti yang telah penulis paparkan pada
bagian sebelumnya bahwa Pembahasan konsep Perjanjian Baru tidak bisa dipisahkan
dari Perjanjian Lama, oleh sebab itu sebelum masuk dalam pembahasan dari
perspektif Perjanjian Baru, maka penulis menganggap perlu untuk sedikit memberikan
gambaran konsep Perjanjian Lama mengenai uang.
Berkat
dalam Perjanjian Lama biasanya selalu diidentikkan dengan hal-hal fisik seperti
Kemakmuran, umur panjang, sukses, uang dll, yang diberikan oleh Allah kepada
manusia sebagai buah dari ketaatan mereka kepada Allah.[1] Satu contoh yang paling sering digunakan
adalah Ulangan 28. Point besar yang bisa dilihat disana adalah berkat-berkat
itu disamakan dengan kemakmuran dan hal-hal yang bersifat fisik. Seseorang akan
diberkati atau dengan kata lain akan mendapat hal-hal jasmanai itu kalau mereka
taat kepada perjanjian Tuhan. Demikan pula sebaliknya, mereka akan dikutuk
apabila mereka tidak taat kepada Tuhan. Konsep ini juga bisa dilihat dalam
Mazmur 1. “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut
nasihat orang fasik….Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air,
yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja
yang diperbuatnya berhasil.” Kata berbahagia juga bisa diterjemahkan
“Diberkatilah”, dengan demikian jelas bahwa orang yang diberkati adalah mereka
yang berhasil dalam hal fisik.
Ada banyak
contoh tokoh Alkitab yang menunjukkan hal ini, misalnya yang paling lazim adalah Daud dan Salomo (1 Raja-raja
3:13), Bangsa Israel yang diberikan tanah yang baik (Kej 3:8,9), Abraham,
Yusuf, dll. Buah dari ketaatan mereka selalu berujung pada berkat yang bersifat
jasmani. Karenanya tidak jarang bahwa Allah menyuruh bangsaNya taat supaya
mereka tetap diberkati. Ketaatan mereka kepada Tuhan akan menentukan hidup
mereka akan mendapat berkat jasmani atau justru sebaliknya adalah kutuk (
Maleakhi 3:10-13; Ula 28).
Konsep Berkat
Dalam Perjanjian Baru
Ada berbedaan yang
mencolok antara Perjanjian Baru, bahkan cenderung bertolak belakang dengan apa
yang dilihat dalam perjanjian Lama. Ketika berbicara berkat, Perjanjian Baru
lebih banyak merujuk kepada berkat secara Rohani. Yesus berkata: “Janganlah
kamu mengumpulkan harta di Bumi, sebab ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar
serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga ngengat dan karat
tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya” ( Mat
6:19-20). Kata “Janganlah” merupakan merupakan sebuah kata larangan. Artinya
ini sama dengan perkataan Tuhan Yesus ketika Yesus berkata: “Jangan mencuri”
atau “Jangan membenci”. Kalimat ini sama-sama adalah kalimat larangan, artinya
tidak boleh. Mengapa? Jelas alasannya
karena jika hanya mengumpulkan harta di Bumi, harta itu pasti akan habis dan
tidak bersifat kekal. Demikian juga ketika Yesus berbicara mengenai kekuatiran.[2]
Dalam ayat 25-31, Yesus mengajarkan murid-murid untuk tidak perlu kuatir
mengenai kebutuhan-kebutuhan yang bersifat jasmani; alasannya jelas, karena
Allah akan memelihara anak-anakNya. Tetapi yang menarik bagi penulis, dalam
ayat 32, muncul sebuah kalimat “Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak
mengenal Allah”. Apa yang dimaksud dengan “Semua itu”? tidak lain adalah apa
yang telah disebutkan oleh Yesus pada ayat-ayat sebelumnya, yaitu kebutuhan
jasmani. Orang yang hanya berusaha mencari dan memenuhi kebutuhannya secara
jasmani adalah satu tanda bahwa sebenarnya ia tidak mengenal Allah. Dengan kata
lain, “Tanda Kekafiran”. Dalam Matius 6:24, ada juga sebuah indikasi dimana
Yesus sebenarnya sedang mempertentangkan antara Tuhan dan uang. Yesus berkata:
“Kamu tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dan Mamon”.
Orang kaya belum tentu diberkati
Dalam Lukas 6:20, ada sebuah
gambaran yang jelas bagi kita yang menunjukkan bahwa Yesus tidak tertarik
dengan kekayaan, bahkan cenderung ingin menunjukkan bahwa sebenarnya kekayaan
adalah sebuah kutuk dan justru orang yang diberkati adalah orang yang miskin.
Ada orang yang menganggap ini adalah kemiskinan secara rohani, tetapi menurut
penulis ini adalah kemiskinan secara literal. Penulis mengutip komentar Matthew
Hendry “… Namun demikian, engkau
diberkati dalam kemiskinanmu, Karena kemiskinan sama sekali tidak akan merusak
kebahagiaanmu. Sungguh bahkan engkau diberkati karena kemiskinanmu…”[3]
Kebenaran ini juga dapat dilihat dalam sebuah kisah Lazarus dan orang kaya yang
Yesus sampaikan dalam Lukas 16:19-31. Yesus sekali lagi menunjukkan bahwa orang
yang kaya tidak menunjukkan bahwa ia diberkati.
Kekayaan adalah
Berkat palsu (Lukas 12:20-21)
“Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang
bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah
kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang
yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan
Allah."[4] Ayat ini memberi sebuah pemahaman yang baru
bagi pada Murid bahwa mengumpulkan harta di dunia adalah sebuah kebodohan. Yesus
juga berkata, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan,
sebab walaupun seorang berlimpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada
Kekayaannya itu (Luk 12:15). Dalam konteks ini ada sebuah pertengkaran
mengenai persoalan harta. Respon Yesus bukan mendorong yang lainnya untuk
berlaku adil atau pun memberikan solusi kepada kedua pihak, tetapi Yesus
memberikan sebuah respon yang berbeda. Dengan kata lain, ia berkata, “Semua ini
bukanlah kekayaan yang sejati; semua ini bukanlah hal-hal yang patut
diperjuangkan”[5].
Semua ini adalah kekayaan yang terlihat yang sifatnya hanya sementara;
sedangkan kekayaan-kekayaan yang lebih baik dan menetap sifatnya tidak
kelihatan.
Demikian juga
gambaran yang jelas dapat dilihat ketika ada seorang muda yang kaya datang
kepada Yesus (Lihat Matius 19:16-26).[6]
Yesus tidak tertarik dengan kekayaan pemuda itu justru Yesus berkata: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah,
juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka
engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah
Aku." Memang ada indikasi bahwa orang yang mengikut Yesus seharusnya mereka
yang tidak bergantung pada hartanya. Kemudian Yesus menegaskan lagi bahwa orang
kaya sangat sulit masuk kedalam kerajaan sorga (Ayat 24). Dari beberapa ayat
ini menunjukkan kepada kita bahwa Yesus sama sekali tidak tertarik dengan
hal-hal yang bersifat jasmani. Bahkan dalam Luk 6:24, Yesus mengutuk orang
kaya: “Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya karena dalam kekayaanmu
kamu telah memperoleh penghiburanmu”. Yesus juga berkata: “Barangsiapa
yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan
mengikut Aku” (Mat 16:24). Ayat-ayat seperti ini tidak dapat dijawab oleh
para penganut Teologi Kemakmuran. Ia selalu mengarahkan pengajaranNya kepada
hal-hal yang bersifat kekal yaitu hal kerajaan sorga.
Kekayaan
Menciptakan Peluang untuk Jatuh
Ada seorang penulis berkata: “90%
orang diuji dengan Kekayaan dan kemakmuran pasti jatuh; sebaliknya orang yang diuji
dengan penderitaan dan penganiayaan 90% pasti lulus”.[7] Oleh
sebab itu, sebenarnya kekayaan tidak selalu berdampak baik, bahkan selalu
cenderung berdampak buruk. “Waspadalah terhadap ketamakan”. kata
waspadalah menunjukkan sebuah tanda hati-hati. Biasanya kalau orang berkata
“Waspadalah” itu karena ada sebuah bahaya yang akan mengancam yang dianggap
berpotensi untuk menghancurkan atau merusak. Misalnya, “Waspadalah ada
anjing beranak”. Tulisan itu ditempel oleh karena ingin menghindarkan orang
dari gigitan Anjing yang ganas.
Paulus berkata: “Tetapi mereka
yang ingin kaya terjatuh kedalam pencobaan, kdalam jerat dan kedalam
berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan
manusia kedalam keruntuhan dan kebiasaan” (1 Tim 6:9). Disini tidak
disebutkan mereka yang kaya, tetapi yang “Ingin Kaya”. Sebuah keinginan
untuk menjadi kaya adalah sebuah keserakahan yang menurut Paulus adalah bahaya
yang sangat mengancam untuk menjatuhkan manusia. Kalau manusia tidak dapat lagi
membedakan antara keinginan dan kebutuhan maka manusia itu pasti serakah.[8]
Teladan Dalam
Perjanjian Baru
Berbicara mengenai teladan yang
baik, tidak ada teladan yang lebih sempurna selain Yesus dalam seluruh isi
Alkitab. Penulis berfikir bahwa ketika Yohanes berkata: “Barang siapa
mengatakan bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus
telah hidup”, salah satu hal yang sedang dibicarakan Yohanes adalah
mengenai kesederhanaan hidup Yesus. Dalam Lukas 9, ketika seorang murid
menyatakan komitmen untuk mengikut Yesus, Dia memberikan sebuah ilustrasi yang
menarik: “Serigala mempunyai liang….. tetapi anak manusia tidak mempunyai
tempat untuk meletakkan kepala-Nya”. Yesus ingin menyatakan bahwa kalau mau
mengikut Dia oleh karena ingin kaya, Ia tidak punya apa-apa dalam sisi
kemanusiaanNya. Inilah ekspresi dari “Pengosongan diri” yang Yesus lakukan.[9] Ia
tidak menjamin bahwa orang yang mengikut Dia akan hidup dalam kekayaan. Yesus
hidup dengan sangat sederhana. Lagi pula dalam doa Bapa Kami (Mat 6:9-13),
Yesus mengajarkan muridNya untuk meminta makanan yang secukupnya saja.
Ketika Yesus akan ditangkap, kita
tahu bahwa Yudas menciumnya terlebih dahulu untuk memberikan tanda kepada para
prajurit bahwa itulah Yesus (Matius 26:48, Mark 14:44). Pertanyaannya,
bagaimana mungkin para prajurit tidak mengetahui yang mana pemimpin diantara
rombongan itu? Paling tidak, seorang pemimpin punya ciri tersendiri, tetapi
menarik bahwa prajurit-prajurit ini tidak bisa membedakan antara Guru dan
muridnya. Apa yang bisa dilihat bahwa Yesus mempunyai penampilan yang tidak
berbeda dengan para muridNya. Ia sama dengan muridNya, sederhana seperti
muridNya.
Selain itu, jemaat mula-mula juga
tidak menunjukkan bahwa setelah mereka percaya kepada Yesus, hidup mereka
“Diberkati” dengan kekayaan.[10]
Justru mereka menjual harta mereka dan membagi-bagikannya dengan
saudara-saudara mereka yang sedang kekurangan. ( Kis 4:34,35). Mereka
bersukacita bahkan dalam kesulitan ekonomi yang luar biasa. Menarik bahwa
kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang berlatar belakang Yahudi yang
notabene mereka penganut paham bahwa penderitaan dan kemiskinan adalah sebuah
kutuk. Mungkin pembaca hari ini-Alkitab berfikir bahwa hal ini bukanlah hal
yang muda bagi mereka tetapi justru melihat tulisan-tulisan Paulus memberikan
gambaran kepada kita bagaimana pemahaman mereka diubah ketika Percaya kepada
Yesus (Lihat Filipi 4:12, Fil 1:29, Kis 5:41). Bahkan Darmawan S Bone ketika
membaca Filipi 1:29, ia berkata, keselamatan dan penderitaan merupakan suatu
paket yang tidak dapat dipisahkan, kita tidak bisa menerima satu bagian dan
menolak bagian yang lainnya.[11]
Sikap Terhadap
Uang/Kekayaan
Melihat ayat-ayat diatas, semakin jelas bagi
kita bagaimana seharusnya orang percaya memandang kekayaan dalam perspektif
yang benar. Perlu di garis bawahi bahwa ajaran-ajaran diatas tidak pernah
mempersalahkan Uang atau kekayaan. Tidak ada juga larangan untuk seseorang
menjadi kaya. Adalah sebuah kekeliruan besar apabila ada orang Kristen yang
memahami bahwa ajaran Perjanjian Baru mengajarkan pengikutnya supaya hidup
miskin, atau menganggap bahwa ini adalah alasan bagi orang Kristen untuk tidak
usah bekerja dan bermalas-malasan. Tentu ini bukan point Yesus ataupun
penulis-penulis Perjanjian Baru lainnya.
Walaupun Yesus
hidup dalam kesederhanaan, tetapi Ia tidak perna melarang murid-muridNya untuk
tidak bekerja. Justru Ia juga membantu para murid untuk pergi menjala ikan (
Matius 4:18). Kita tahu bahwa Yesus adalah seorang anak tukang kayu, walaupun
tidak diceritakan bagaimana kehidupan Yesus pada masa mudaNya, tetapi penulis
bisa menebak bahwa pekerjaan sehari-hariNya adalah membantu yusuf melakukan
pekerjaannya. Ini adalah sesuatu yang wajar bagi seorang anak Yahudi untuk
membantu orang tuanya melakukan pekerjaan ayahnya. Dalam beberapa teks, juga
kita menemukan bahwa Yesus juga mengajarkan muridNya bagaimana supaya mereka
menerima sesuatu yang bersifat jasmani, misalnya, Matius 7:7, “Carilah maka
kamu akan mendapat”. “Apa saja yang kamu minta dalam nama-Ku kamu akan
menerimanya” (Yoh 15:7). Ketika Yesus mengutus murid-muridNya, Yesus juga
berpesan untuk tidak usah membawah apa-apa, oleh karena “ Seorang pekerja patut
mendapat upahnya”. Demikian juga ketika Yesus mengajarkan bahwa siapapu yang
memberikan secangkir air putih, ia tidak akan kehilangan upah, Yesus sedang
mengacuh kepada kebutuhan jasmani.[12]
Paulus juga mendorong jemaat di
Tesalonika untuk giat bekerja. “….Kami
memperingatkan ini kepada kamu: ‘Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia
makan’”. ( 2 Tes 3:10). Rupanya situasi dalam jemaat Tesalonika ada jemaat
yang tidak mau bekerja dengan kata lain bermalas-malasan, “…sibuk dengan
hal-ha yang tidak berguna…”, kita tidak tau apa yang membuat jemaat ini
sibuk sampai tidak bekerja, tetapi Paulus menegaskan kepada mereka untuk
bekerja supaya mereka bisa makan dari hasil jerih payahnya sendiri (ayat 12).
Lalu,
apa yang harus menjadi awasan? Yesus tidak mempersalahkan uang, karena uang itu
netral. Demikian juga Paulus tidak menganggap uang adalah dosa.[13]
Tetapi yang harus diwaspadai adalah cinta uang dan ketamakan. “Karena akar
segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang
telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagi dukua” (1
Tim 6:10).
Fungsi
Uang/Kekayaan
Mempergunakan
uang untuk hal-hal yang tidak benar merupakan sebuah perilaku yang harus
dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Yesus berkata: “Jadi, jikalau kamu
tidak setia dalam hal mammon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan
kepadamu harta yang sesungguhnya?” (Luk 16:11). Mamon adalah dewa kekayaan
yang banyak disembah orang-orang di Palestina.[14]
Apabila uang atau kekayaan hanya digunakan untuk memuaskan diri sendiri, itu bukanlah prinsip yang diajarkan dalam
Alkitab. Uang seharusnya menjadi alat untuk membangun kerajaan Allah. Dalam surat-suratnya,
Paulus seringkali mendorong jemaat untuk membantu pelayanan Misi dan membantu
para janda dan orang Miskin.
Ada banyak contoh/teladan yang bisa
dilihat dalam Perjanjian Baru, bagaimana uang digunakan oleh jemaat mula-mula. Dalam kisah Para Rasul kita melihat gambaran
yang jelas bahwa walaupun jemaat mula-mula kebanyakan berasal dari orang-orang
yang miskin, mereka tetap menjual semua apa yang mereka miliki dan
membagi-bagikannya kepada yang lain. Dalam bagian akhir suratnya kepada jemaat
Korintus, Paulus meminta supaya jemaat mengumpulkan uang untuk membantu jemaat
di Yerusalem (1 Kor 16:1-4). Demikian juga dengan suratnya yang kedua, ia
mendorong jemaat Korintus untuk membantu pelayanan orang-orang kudus sesuai
dengan kerelaan hati (2 Kor 9:6-14)
BAB
III
IMPLEMENTASI
BAGI KEHIDUPAN ORANG PERCAYA MASA KINI
Uang
adalah kebutuhan yang sangat penting dan mendasar bagi setiap orang. Bahkan
saya pernah membaca sebuah slogan yang teman kirimkan melalui WA : “Uang memang
tidak dibawah mati, tapi tanpa uang rasanya mau mati”. Semua orang membutuhkan
uang. Sebuah gereja yang besar dan megah tidak akan terbangun tanpa menggunakan
uang, percetakan Alkitab dan buku-buku rohani tidak akan jalan tanpa uang,
bahkan penginjilan akan susah berjalan tanpa dukungan finansial yang cukup.
Itulah sebabnya tidak heran apabila ada banyak orang yang menggunakan segala
macam cara untuk mendapatkan uang.
Salah
satu ajaran yang telah merasuki ajaran Kristen dan banyak jemaat Kristen adalah
ajaran Teologi Kemakmuran atau yang lebih dikenal Teologi Sukses yang diajarkan
oleh Norman Vincent, Robbert Schuller, Paul Yonggi Cho dan beberapa tokoh-tokoh
lainnya.[15] Mereka
mengajarkan bahwa “Allah kita adalah Allah yang besar, kaya dan penuh berkat
dan manusia yang beriman pasti akan mengalami kehidupan yang penuh berkat pula,
sukses, kaya, dan berkelimpahan materi”.[16]
Jadi, pandangan ini mengajarkan bahwa kalau kita hidup miskin berarti kita
kurang percaya. Ajaran-ajaran ini sangat memperngaruhi dunia kekristenan. Ada
banyak orang yang diseret dan dibawah kepada sebuah kesesatan.
Dalam
Bab sebelumnya penulis telah mengungkapkan bagaimana pandangan Perjanjian baru mengenai
harta dan kekayaan. Kesalahan terbesar dari para penafsir teologi kemakmura
adalah penafsiran yang subjektif dimana mereka hanya menggunakan Alkitab
sebagai alat untuk mendukung argument mereka tanpa melihat maksud dari
keseluruhan Alkitab.
Setiap
orang percaya seharusnya memandang uang sebagai sesuatu yang netral. Allah
harus selalu jadi focus utama. Uang bisa dijadikan sarana untuk memuliakan
Allah, membantu pekerjaan Tuhan melalui Misi, membantu orang orang-orang dalam
kekurangan. Demikian juga cara mendapatkan uang, orang percaya seharusnya tidak
“Menggunakan Allah” untuk mendapatkan uang, seperti yang diajarkan oleh Teologi
Kemakmuran. Seharusnya kita mencari Allah dan percaya bahwa Allah sanggup
menyediakan segala kebutuhan kita (Mat 6:33).
Uang
tidak selalu bisa didefinisikan sebagai “Berkat” Tuhan. Kadang-kadang itu
adalah kutuk. Sehingga adalah sebuah kekliruan besar apabila ada orang Kristen
yang terlalu membangga-banggakan uang dan kekayaan sebagai sebuah berkat. Orang
Kristen harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhannya. Ingat bahwa Paulus juga
mencari uang dengan menjadi seorang pengusaha kemah, tetapi hanya untuk
memenuhi kebutuhannya. Bukan untuk kelihatan kaya, bukan untuk memenuhi
keinginan semata. Yesus mengajarkan murid-murdiNya untuk meminta sesuai dengan
kebutuhan: “Berikanlaha kami makanan kami yang secukupnya” (Mat 6:11).
Jadi,
apakah ada batasan sampai dimana kita seharusnya memiliki uang? Tidak ada.
Sekali lagi uang tidak bersalah. Tetapi Alkitab memberikan prinsip yang jelas.
Paulus berkata “Asal ada makanan dan pakaian cukuplah”. Demikian juga dengan
penulis Ibrani berkata “ janganlah kamu menjadi hamba uang, Cukupkanlah dirimu
dengan apa yang ada padamu (Ibrani 13:5). Yesus tidak melarang orang Kristen
menjadi kaya, tetapi mengutamakan kekeyaan lebih dari Tuhan itu yang salah.
Paulus tidak membenci uang, tetapi jangan cinta uang. Penulis Ibrani bukan
melarang kita mencari uang, tetapi jangan menjadi hamba uang, artinya rela
melakukan segala hal untuk mendapatkan uang.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, penulis
menyimpulkan bahwa “Uang” dalam Perjanjian lama yang dipahami sebagai berkat
berbeda dengan pandangan Perjanjian Baru. Perjanjian Baru tidak selalu
menganggap uang sebagai berkat. Walaupun kita harus menggaris bawahi bahwa
segala sesuatu yang baik berasal dari Tuhan. Hal ini terlihat jelas dalam
ajaran-ajaran Yesus yang tidak terlalu peduli bahkan cenderung mencela
kekayaan. Yesus tidak hanya mengajarkan
tetapi juga memberikan teladan kesederhanaan. Yesus berkali-kali memberikan
awasan kepada murid-muridNya untuk selalu waspada terhadap kekayaan dan uang.
Demikian juga dengan ajaran-ajaran Paulus
dalam suratnya. Ia selalu menekankan berkat pada hal-hal rohani bukan hal-hal
yang bersifat jasmani. Ini juga tidak berarti bahwa Paulus sama sekali
mengabaikan perkara tentang uang, karena ia juga meminta supaya jemaat
memberikan uang mereka, ia juga mendorong jemaat untuk bekerja, tetapi ia sama
sekali tidak tertarik dan mengajarkan bagaimana supaya dapat sesuatu yang
bersifat jasmani saja.
Berkat yang seharusnya dikejar oleh orang
percaya pada masa kini adalah berkata rohani yakni berkat sukacita keselamatan
yang akan diterima pada kekekalan, bukan hal jasmanai yang hanya bersifat
sementara. Tetapi kalaupun dalam focus kita terhadap kerajaan surga, Allah
berkenan memberikan uang dan kekayaan, hal itu jangan dipandang sebagai sesuatu
yang terlalu besar, tetapi seharusnya dipandang sebagai sebuah alat saja yang
Tuhan berikan untuk dipakai menggenapi rencana Tuhan dalam keluarga jemaat dan
masyarakat secara umum.
Jadi, orang Krsiten seharusnya lebih
bijaksana dalam menyikapi isu mengenai uang. Memandang uang dengan perspektif
yang benar, mencari uang dengan cara yang benar, dan menggunakan uang dengan
cara yang sesuai dengan Alkitab.
[10] Gene Gets, Pedoman Lengkap Pendalaman Alkitab: Tentang
Uang dan Harta Milik (Kalam Hidup: Bandung, 2008), 101.
[12] Gene Gets, Pedoman Lengkap Pendalaman Alkitab: Tentang Uang dan Harta
Milik (Kalam Hidup: Bandung, 2008), 100.
[13] Loren Cunningham & Janice Rogers, Berani Hidup Disaat Krisis
(Yayasan Andi: Jakarta, 2000), 62.