Senin, 13 Mei 2019

Uang/Kekayaan dalam Perspektif Perjanjian Baru, apakah itu berkat?


BAB I
PENDAHULUAN
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Kedua bagian ini bagaikan sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ada yang berfikir bahwa bagi orang percaya cukup mempelajari dan menghidupi Perjanjian Baru karena Perjanjian Lama tidak begitu begitu penting. Akan tetapi mereka lupa bahwa untuk memahami Perjanjian Baru dengan benar, seseorang harus memahami konteks dimana Perjanjian Baru itu muncul, kenapa ada perjanjian Baru? Hal ini perlu dipertimbangkan dengan matang. Sebaliknya ada juga orang yang terlalu peduli tentang Perjanjian Lama sehingga tidak memahami bahwa sudah ada Perjanjian yang Baru akibatnya banyak orang yang masih membawah konsep Perjanjian Lama kedalam Perjanjian Baru.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Teologi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memiliki konsep Teologi yang cukup berbeda. Salah satu perbedaan yang mencolok adalah mengenai berkat. Dalam Perjanjian Lama konsep berkat selalu dikaitkan dengan hal jasmani, sehingga orang yang diberkati selalu identic dengan kekayaan atau uang. Artinya orang yang takut akan Tuhan dan melakukan apa yang diperintahkan Tuhan akan diberkati dengan berbagai berkat jasmani atau kekayaan dan uang. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dilihat dalam Perjanjian Baru, dimana dalam Perjanjian Baru selalu berfokus pada berkat Rohani.
Fenomena yang banyak dilihat dalam gereja hari ini adalah banyak orang Kristen yang menganggap kekayaan, uang atau kemakmuran adalah berkat yang besar dari Tuhan. Bahkan menurut pengamatan penulis hampir 70-80 persen orang Kristen bersaksi di gereja oleh karena memperoleh hal-hal yang bersifat jasmani. Tidak dipungkiri bahwa semua hal yang baik berasal dari Tuhan, tetapi uang tidak selamanya baik. Melihat fenomena ini, akan muncul sebuah pertanyaan penting, apakah uang atau kekeyaan merupakan berkat Tuhan? Mungkin ini akan sedikit kontrofersi, tetapi penulis akan berusaha secara objektif menjelaskannnya dari Perspektif Alkitab.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Berkat Dalam Perjanjian Lama
            Seperti yang telah penulis paparkan pada bagian sebelumnya bahwa Pembahasan konsep Perjanjian Baru tidak bisa dipisahkan dari Perjanjian Lama, oleh sebab itu sebelum masuk dalam pembahasan dari perspektif Perjanjian Baru, maka penulis menganggap perlu untuk sedikit memberikan gambaran konsep Perjanjian Lama mengenai uang.  
            Berkat dalam Perjanjian Lama biasanya selalu diidentikkan dengan hal-hal fisik seperti Kemakmuran, umur panjang, sukses, uang dll, yang diberikan oleh Allah kepada manusia sebagai buah dari ketaatan mereka kepada Allah.[1] Satu contoh yang paling sering digunakan adalah Ulangan 28. Point besar yang bisa dilihat disana adalah berkat-berkat itu disamakan dengan kemakmuran dan hal-hal yang bersifat fisik. Seseorang akan diberkati atau dengan kata lain akan mendapat hal-hal jasmanai itu kalau mereka taat kepada perjanjian Tuhan. Demikan pula sebaliknya, mereka akan dikutuk apabila mereka tidak taat kepada Tuhan. Konsep ini juga bisa dilihat dalam Mazmur 1. Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik….Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. Kata berbahagia juga bisa diterjemahkan “Diberkatilah”, dengan demikian jelas bahwa orang yang diberkati adalah mereka yang berhasil dalam hal fisik.
Ada banyak contoh tokoh Alkitab yang menunjukkan hal ini, misalnya yang paling  lazim adalah Daud dan Salomo (1 Raja-raja 3:13), Bangsa Israel yang diberikan tanah yang baik (Kej 3:8,9), Abraham, Yusuf, dll. Buah dari ketaatan mereka selalu berujung pada berkat yang bersifat jasmani. Karenanya tidak jarang bahwa Allah menyuruh bangsaNya taat supaya mereka tetap diberkati. Ketaatan mereka kepada Tuhan akan menentukan hidup mereka akan mendapat berkat jasmani atau justru sebaliknya adalah kutuk ( Maleakhi 3:10-13; Ula 28).
Konsep Berkat Dalam Perjanjian Baru
Ada berbedaan yang mencolok antara Perjanjian Baru, bahkan cenderung bertolak belakang dengan apa yang dilihat dalam perjanjian Lama. Ketika berbicara berkat, Perjanjian Baru lebih banyak merujuk kepada berkat secara Rohani. Yesus berkata: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di Bumi, sebab ngengat  dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya” ( Mat 6:19-20). Kata “Janganlah” merupakan merupakan sebuah kata larangan. Artinya ini sama dengan perkataan Tuhan Yesus ketika Yesus berkata: “Jangan mencuri” atau “Jangan membenci”. Kalimat ini sama-sama adalah kalimat larangan, artinya tidak boleh.  Mengapa? Jelas alasannya karena jika hanya mengumpulkan harta di Bumi, harta itu pasti akan habis dan tidak bersifat kekal. Demikian juga ketika Yesus berbicara mengenai kekuatiran.[2] Dalam ayat 25-31, Yesus mengajarkan murid-murid untuk tidak perlu kuatir mengenai kebutuhan-kebutuhan yang bersifat jasmani; alasannya jelas, karena Allah akan memelihara anak-anakNya. Tetapi yang menarik bagi penulis, dalam ayat 32, muncul sebuah kalimat “Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah”. Apa yang dimaksud dengan “Semua itu”? tidak lain adalah apa yang telah disebutkan oleh Yesus pada ayat-ayat sebelumnya, yaitu kebutuhan jasmani. Orang yang hanya berusaha mencari dan memenuhi kebutuhannya secara jasmani adalah satu tanda bahwa sebenarnya ia tidak mengenal Allah. Dengan kata lain, “Tanda Kekafiran”. Dalam Matius 6:24, ada juga sebuah indikasi dimana Yesus sebenarnya sedang mempertentangkan antara Tuhan dan uang. Yesus berkata: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dan Mamon”.


Orang kaya belum tentu diberkati
            Dalam Lukas 6:20, ada sebuah gambaran yang jelas bagi kita yang menunjukkan bahwa Yesus tidak tertarik dengan kekayaan, bahkan cenderung ingin menunjukkan bahwa sebenarnya kekayaan adalah sebuah kutuk dan justru orang yang diberkati adalah orang yang miskin. Ada orang yang menganggap ini adalah kemiskinan secara rohani, tetapi menurut penulis ini adalah kemiskinan secara literal. Penulis mengutip komentar Matthew Hendry  “… Namun demikian, engkau diberkati dalam kemiskinanmu, Karena kemiskinan sama sekali tidak akan merusak kebahagiaanmu. Sungguh bahkan engkau diberkati karena kemiskinanmu…”[3] Kebenaran ini juga dapat dilihat dalam sebuah kisah Lazarus dan orang kaya yang Yesus sampaikan dalam Lukas 16:19-31. Yesus sekali lagi menunjukkan bahwa orang yang kaya tidak menunjukkan bahwa ia diberkati.
Kekayaan adalah Berkat palsu (Lukas 12:20-21)
            Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah."[4] Ayat ini memberi sebuah pemahaman yang baru bagi pada Murid bahwa mengumpulkan harta di dunia adalah sebuah kebodohan. Yesus juga berkata, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada Kekayaannya itu (Luk 12:15). Dalam konteks ini ada sebuah pertengkaran mengenai persoalan harta. Respon Yesus bukan mendorong yang lainnya untuk berlaku adil atau pun memberikan solusi kepada kedua pihak, tetapi Yesus memberikan sebuah respon yang berbeda. Dengan kata lain, ia berkata, “Semua ini bukanlah kekayaan yang sejati; semua ini bukanlah hal-hal yang patut diperjuangkan”[5]. Semua ini adalah kekayaan yang terlihat yang sifatnya hanya sementara; sedangkan kekayaan-kekayaan yang lebih baik dan menetap sifatnya tidak kelihatan.
Demikian juga gambaran yang jelas dapat dilihat ketika ada seorang muda yang kaya datang kepada Yesus (Lihat Matius 19:16-26).[6] Yesus tidak tertarik dengan kekayaan pemuda itu justru Yesus berkata: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." Memang ada indikasi bahwa orang yang mengikut Yesus seharusnya mereka yang tidak bergantung pada hartanya. Kemudian Yesus menegaskan lagi bahwa orang kaya sangat sulit masuk kedalam kerajaan sorga (Ayat 24). Dari beberapa ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa Yesus sama sekali tidak tertarik dengan hal-hal yang bersifat jasmani. Bahkan dalam Luk 6:24, Yesus mengutuk orang kaya: “Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu”. Yesus juga berkata: “Barangsiapa yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat 16:24). Ayat-ayat seperti ini tidak dapat dijawab oleh para penganut Teologi Kemakmuran. Ia selalu mengarahkan pengajaranNya kepada hal-hal yang bersifat kekal yaitu hal kerajaan sorga.
Kekayaan Menciptakan Peluang untuk Jatuh
            Ada seorang penulis berkata: “90% orang diuji dengan Kekayaan dan kemakmuran pasti jatuh; sebaliknya orang yang diuji dengan penderitaan dan penganiayaan 90% pasti lulus”.[7] Oleh sebab itu, sebenarnya kekayaan tidak selalu berdampak baik, bahkan selalu cenderung berdampak buruk. “Waspadalah terhadap ketamakan”. kata waspadalah menunjukkan sebuah tanda hati-hati. Biasanya kalau orang berkata “Waspadalah” itu karena ada sebuah bahaya yang akan mengancam yang dianggap berpotensi untuk menghancurkan atau merusak. Misalnya, “Waspadalah ada anjing beranak”. Tulisan itu ditempel oleh karena ingin menghindarkan orang dari gigitan Anjing yang ganas.
            Paulus berkata: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh kedalam pencobaan, kdalam jerat dan kedalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia kedalam keruntuhan dan kebiasaan” (1 Tim 6:9). Disini tidak disebutkan mereka yang kaya, tetapi yang “Ingin Kaya”. Sebuah keinginan untuk menjadi kaya adalah sebuah keserakahan yang menurut Paulus adalah bahaya yang sangat mengancam untuk menjatuhkan manusia. Kalau manusia tidak dapat lagi membedakan antara keinginan dan kebutuhan maka manusia itu pasti serakah.[8]
Teladan Dalam Perjanjian Baru
            Berbicara mengenai teladan yang baik, tidak ada teladan yang lebih sempurna selain Yesus dalam seluruh isi Alkitab. Penulis berfikir bahwa ketika Yohanes berkata: “Barang siapa mengatakan bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup”, salah satu hal yang sedang dibicarakan Yohanes adalah mengenai kesederhanaan hidup Yesus. Dalam Lukas 9, ketika seorang murid menyatakan komitmen untuk mengikut Yesus, Dia memberikan sebuah ilustrasi yang menarik: “Serigala mempunyai liang….. tetapi anak manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya”. Yesus ingin menyatakan bahwa kalau mau mengikut Dia oleh karena ingin kaya, Ia tidak punya apa-apa dalam sisi kemanusiaanNya. Inilah ekspresi dari “Pengosongan diri” yang Yesus lakukan.[9] Ia tidak menjamin bahwa orang yang mengikut Dia akan hidup dalam kekayaan. Yesus hidup dengan sangat sederhana. Lagi pula dalam doa Bapa Kami (Mat 6:9-13), Yesus mengajarkan muridNya untuk meminta makanan yang secukupnya saja.
            Ketika Yesus akan ditangkap, kita tahu bahwa Yudas menciumnya terlebih dahulu untuk memberikan tanda kepada para prajurit bahwa itulah Yesus (Matius 26:48, Mark 14:44). Pertanyaannya, bagaimana mungkin para prajurit tidak mengetahui yang mana pemimpin diantara rombongan itu? Paling tidak, seorang pemimpin punya ciri tersendiri, tetapi menarik bahwa prajurit-prajurit ini tidak bisa membedakan antara Guru dan muridnya. Apa yang bisa dilihat bahwa Yesus mempunyai penampilan yang tidak berbeda dengan para muridNya. Ia sama dengan muridNya, sederhana seperti muridNya.
            Selain itu, jemaat mula-mula juga tidak menunjukkan bahwa setelah mereka percaya kepada Yesus, hidup mereka “Diberkati” dengan kekayaan.[10] Justru mereka menjual harta mereka dan membagi-bagikannya dengan saudara-saudara mereka yang sedang kekurangan. ( Kis 4:34,35). Mereka bersukacita bahkan dalam kesulitan ekonomi yang luar biasa. Menarik bahwa kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang berlatar belakang Yahudi yang notabene mereka penganut paham bahwa penderitaan dan kemiskinan adalah sebuah kutuk. Mungkin pembaca hari ini-Alkitab berfikir bahwa hal ini bukanlah hal yang muda bagi mereka tetapi justru melihat tulisan-tulisan Paulus memberikan gambaran kepada kita bagaimana pemahaman mereka diubah ketika Percaya kepada Yesus (Lihat Filipi 4:12, Fil 1:29, Kis 5:41). Bahkan Darmawan S Bone ketika membaca Filipi 1:29, ia berkata, keselamatan dan penderitaan merupakan suatu paket yang tidak dapat dipisahkan, kita tidak bisa menerima satu bagian dan menolak bagian yang lainnya.[11]
Sikap Terhadap Uang/Kekayaan
             Melihat ayat-ayat diatas, semakin jelas bagi kita bagaimana seharusnya orang percaya memandang kekayaan dalam perspektif yang benar. Perlu di garis bawahi bahwa ajaran-ajaran diatas tidak pernah mempersalahkan Uang atau kekayaan. Tidak ada juga larangan untuk seseorang menjadi kaya. Adalah sebuah kekeliruan besar apabila ada orang Kristen yang memahami bahwa ajaran Perjanjian Baru mengajarkan pengikutnya supaya hidup miskin, atau menganggap bahwa ini adalah alasan bagi orang Kristen untuk tidak usah bekerja dan bermalas-malasan. Tentu ini bukan point Yesus ataupun penulis-penulis Perjanjian Baru lainnya.  
Walaupun Yesus hidup dalam kesederhanaan, tetapi Ia tidak perna melarang murid-muridNya untuk tidak bekerja. Justru Ia juga membantu para murid untuk pergi menjala ikan ( Matius 4:18). Kita tahu bahwa Yesus adalah seorang anak tukang kayu, walaupun tidak diceritakan bagaimana kehidupan Yesus pada masa mudaNya, tetapi penulis bisa menebak bahwa pekerjaan sehari-hariNya adalah membantu yusuf melakukan pekerjaannya. Ini adalah sesuatu yang wajar bagi seorang anak Yahudi untuk membantu orang tuanya melakukan pekerjaan ayahnya. Dalam beberapa teks, juga kita menemukan bahwa Yesus juga mengajarkan muridNya bagaimana supaya mereka menerima sesuatu yang bersifat jasmani, misalnya, Matius 7:7, “Carilah maka kamu akan mendapat”. “Apa saja yang kamu minta dalam nama-Ku kamu akan menerimanya” (Yoh 15:7). Ketika Yesus mengutus murid-muridNya, Yesus juga berpesan untuk tidak usah membawah apa-apa, oleh karena “ Seorang pekerja patut mendapat upahnya”. Demikian juga ketika Yesus mengajarkan bahwa siapapu yang memberikan secangkir air putih, ia tidak akan kehilangan upah, Yesus sedang mengacuh kepada kebutuhan jasmani.[12]
            Paulus juga mendorong jemaat di Tesalonika untuk giat bekerja.  “….Kami memperingatkan ini kepada kamu: ‘Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan’”. ( 2 Tes 3:10). Rupanya situasi dalam jemaat Tesalonika ada jemaat yang tidak mau bekerja dengan kata lain bermalas-malasan, “…sibuk dengan hal-ha yang tidak berguna…”, kita tidak tau apa yang membuat jemaat ini sibuk sampai tidak bekerja, tetapi Paulus menegaskan kepada mereka untuk bekerja supaya mereka bisa makan dari hasil jerih payahnya sendiri (ayat 12).
            Lalu, apa yang harus menjadi awasan? Yesus tidak mempersalahkan uang, karena uang itu netral. Demikian juga Paulus tidak menganggap uang adalah dosa.[13] Tetapi yang harus diwaspadai adalah cinta uang dan ketamakan. “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagi dukua” (1 Tim 6:10).
Fungsi Uang/Kekayaan
            Mempergunakan uang untuk hal-hal yang tidak benar merupakan sebuah perilaku yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Yesus berkata: “Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal mammon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya?” (Luk 16:11). Mamon adalah dewa kekayaan yang banyak disembah orang-orang di Palestina.[14] Apabila uang atau kekayaan hanya digunakan untuk memuaskan diri sendiri,  itu bukanlah prinsip yang diajarkan dalam Alkitab. Uang seharusnya menjadi alat untuk membangun kerajaan Allah. Dalam surat-suratnya, Paulus seringkali mendorong jemaat untuk membantu pelayanan Misi dan membantu para janda dan orang Miskin.
            Ada banyak contoh/teladan yang bisa dilihat dalam Perjanjian Baru, bagaimana uang digunakan oleh jemaat mula-mula.  Dalam kisah Para Rasul kita melihat gambaran yang jelas bahwa walaupun jemaat mula-mula kebanyakan berasal dari orang-orang yang miskin, mereka tetap menjual semua apa yang mereka miliki dan membagi-bagikannya kepada yang lain. Dalam bagian akhir suratnya kepada jemaat Korintus, Paulus meminta supaya jemaat mengumpulkan uang untuk membantu jemaat di Yerusalem (1 Kor 16:1-4). Demikian juga dengan suratnya yang kedua, ia mendorong jemaat Korintus untuk membantu pelayanan orang-orang kudus sesuai dengan kerelaan hati (2 Kor 9:6-14)


BAB III
IMPLEMENTASI BAGI KEHIDUPAN ORANG PERCAYA MASA KINI
            Uang adalah kebutuhan yang sangat penting dan mendasar bagi setiap orang. Bahkan saya pernah membaca sebuah slogan yang teman kirimkan melalui WA : “Uang memang tidak dibawah mati, tapi tanpa uang rasanya mau mati”. Semua orang membutuhkan uang. Sebuah gereja yang besar dan megah tidak akan terbangun tanpa menggunakan uang, percetakan Alkitab dan buku-buku rohani tidak akan jalan tanpa uang, bahkan penginjilan akan susah berjalan tanpa dukungan finansial yang cukup. Itulah sebabnya tidak heran apabila ada banyak orang yang menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan uang.
            Salah satu ajaran yang telah merasuki ajaran Kristen dan banyak jemaat Kristen adalah ajaran Teologi Kemakmuran atau yang lebih dikenal Teologi Sukses yang diajarkan oleh Norman Vincent, Robbert Schuller, Paul Yonggi Cho dan beberapa tokoh-tokoh lainnya.[15] Mereka mengajarkan bahwa “Allah kita adalah Allah yang besar, kaya dan penuh berkat dan manusia yang beriman pasti akan mengalami kehidupan yang penuh berkat pula, sukses, kaya, dan berkelimpahan materi”.[16] Jadi, pandangan ini mengajarkan bahwa kalau kita hidup miskin berarti kita kurang percaya. Ajaran-ajaran ini sangat memperngaruhi dunia kekristenan. Ada banyak orang yang diseret dan dibawah kepada sebuah kesesatan.
            Dalam Bab sebelumnya penulis telah mengungkapkan bagaimana pandangan Perjanjian baru mengenai harta dan kekayaan. Kesalahan terbesar dari para penafsir teologi kemakmura adalah penafsiran yang subjektif dimana mereka hanya menggunakan Alkitab sebagai alat untuk mendukung argument mereka tanpa melihat maksud dari keseluruhan Alkitab.
            Setiap orang percaya seharusnya memandang uang sebagai sesuatu yang netral. Allah harus selalu jadi focus utama. Uang bisa dijadikan sarana untuk memuliakan Allah, membantu pekerjaan Tuhan melalui Misi, membantu orang orang-orang dalam kekurangan. Demikian juga cara mendapatkan uang, orang percaya seharusnya tidak “Menggunakan Allah” untuk mendapatkan uang, seperti yang diajarkan oleh Teologi Kemakmuran. Seharusnya kita mencari Allah dan percaya bahwa Allah sanggup menyediakan segala kebutuhan kita (Mat 6:33).
            Uang tidak selalu bisa didefinisikan sebagai “Berkat” Tuhan. Kadang-kadang itu adalah kutuk. Sehingga adalah sebuah kekliruan besar apabila ada orang Kristen yang terlalu membangga-banggakan uang dan kekayaan sebagai sebuah berkat. Orang Kristen harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhannya. Ingat bahwa Paulus juga mencari uang dengan menjadi seorang pengusaha kemah, tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhannya. Bukan untuk kelihatan kaya, bukan untuk memenuhi keinginan semata. Yesus mengajarkan murid-murdiNya untuk meminta sesuai dengan kebutuhan: “Berikanlaha kami makanan kami yang secukupnya” (Mat 6:11).
            Jadi, apakah ada batasan sampai dimana kita seharusnya memiliki uang? Tidak ada. Sekali lagi uang tidak bersalah. Tetapi Alkitab memberikan prinsip yang jelas. Paulus berkata “Asal ada makanan dan pakaian cukuplah”. Demikian juga dengan penulis Ibrani berkata “ janganlah kamu menjadi hamba uang, Cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu (Ibrani 13:5). Yesus tidak melarang orang Kristen menjadi kaya, tetapi mengutamakan kekeyaan lebih dari Tuhan itu yang salah. Paulus tidak membenci uang, tetapi jangan cinta uang. Penulis Ibrani bukan melarang kita mencari uang, tetapi jangan menjadi hamba uang, artinya rela melakukan segala hal untuk mendapatkan uang.
           



BAB IV
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, penulis menyimpulkan bahwa “Uang” dalam Perjanjian lama yang dipahami sebagai berkat berbeda dengan pandangan Perjanjian Baru. Perjanjian Baru tidak selalu menganggap uang sebagai berkat. Walaupun kita harus menggaris bawahi bahwa segala sesuatu yang baik berasal dari Tuhan. Hal ini terlihat jelas dalam ajaran-ajaran Yesus yang tidak terlalu peduli bahkan cenderung mencela kekayaan.  Yesus tidak hanya mengajarkan tetapi juga memberikan teladan kesederhanaan. Yesus berkali-kali memberikan awasan kepada murid-muridNya untuk selalu waspada terhadap kekayaan dan uang.
 Demikian juga dengan ajaran-ajaran Paulus dalam suratnya. Ia selalu menekankan berkat pada hal-hal rohani bukan hal-hal yang bersifat jasmani. Ini juga tidak berarti bahwa Paulus sama sekali mengabaikan perkara tentang uang, karena ia juga meminta supaya jemaat memberikan uang mereka, ia juga mendorong jemaat untuk bekerja, tetapi ia sama sekali tidak tertarik dan mengajarkan bagaimana supaya dapat sesuatu yang bersifat jasmani saja.
Berkat yang seharusnya dikejar oleh orang percaya pada masa kini adalah berkata rohani yakni berkat sukacita keselamatan yang akan diterima pada kekekalan, bukan hal jasmanai yang hanya bersifat sementara. Tetapi kalaupun dalam focus kita terhadap kerajaan surga, Allah berkenan memberikan uang dan kekayaan, hal itu jangan dipandang sebagai sesuatu yang terlalu besar, tetapi seharusnya dipandang sebagai sebuah alat saja yang Tuhan berikan untuk dipakai menggenapi rencana Tuhan dalam keluarga jemaat dan masyarakat secara umum.
Jadi, orang Krsiten seharusnya lebih bijaksana dalam menyikapi isu mengenai uang. Memandang uang dengan perspektif yang benar, mencari uang dengan cara yang benar, dan menggunakan uang dengan cara yang sesuai dengan Alkitab.



[1] Christopher J Luthy, Diktat Teologi Perjanjian Baru (STTJ: Makassar, 2019), 24.
[2] Matus 6:25-34
[3] Matthew Hendry, Tafsiran Matthew Hendry (elektronik versi 1.4.1) (Sabda:Momentum, Mei 2018).
[4] Terjemahan Baru
[5] Paul G. Caram, Kekristenan Sejati (Voice Of Hope: Jakarta, 2007), 58.
[6] Bandingkan dengan Markus 10:17-27; Lukas 18:18-27)
[7] Saya lupa siapa penulis buku ini, tetapi saya pernah membacanya di Perpustakaan.
[8] Erastus Sabdono, Menantang Zaman (Rehobot Literatur: Jakarta, 2017), 95.
[9] Ibid,.), 96.

[10] Gene Gets, Pedoman Lengkap Pendalaman Alkitab: Tentang Uang dan Harta Milik (Kalam Hidup: Bandung, 2008), 101.
[11] Darmawan S. Bone, Jangan Menyerah ( Kalam Hidup:Bandung, 2006), 33.
[12] Gene Gets, Pedoman Lengkap Pendalaman Alkitab: Tentang Uang dan Harta Milik (Kalam Hidup: Bandung, 2008), 100.
[13] Loren Cunningham & Janice Rogers, Berani Hidup Disaat Krisis (Yayasan Andi: Jakarta, 2000), 62.
[14] Edi Leo, Perjanjian Berkat (Metanoia:Jakarta, 2006), 66.
[15] Ir. Herlianto, Teologi Sukses: Antara Allah dan Mamon ( BPK Gunung Mulia:Jakarta, 1993), 17.
[16] Ibid,.

“KARYA PENYELAMATAN ALLAH TRITUNGGAL”. soteriologi makalah


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Setiap agama atau kepercayaan, biasanya selalu memiliki doktrin atau kepercayaan yang menjadi penekanan dan sekaligus menjadi ciri khas dari kepercayaan itu. Demikian juga dalam kekristenan. Doktrin mengenai keselamatan merupakan salah satu doktrin yang sangat sentral, mendasar serta kepercayaan yang unik jika dibandingkan dengan kepercayaan agama lain.
Dalam dunia Teologi Kristen, ajaran tentang keselamatan dikenal dengan Istilah “Soteriologi”, yang berasal dari dua kata Yunani “Soteria” yang berarti “keselamatan” dan “Logos” yang berarti “hal”, “ucapan” atau “kata”[1]. Penulis setuju dengan apa yang disampaikan oleh dosen di kelas bahwa dari semua mata kuliah yang dipelajari dalam Teologi, ajaran tentang keselamatan adalah doktrin yang mendapat tempat sangat penting.[2]. Pemahaman yang benar mengenai ajaran ini akan sangat mempengaruhi kehidupan orang Kristen secara praktis.
Banyak orang yang menganggap ajaran tentang keselamatan tidak perlu lagi diajarkan kepada jemaat yang sudah “Dewasa”. Dengan kata lain, hanya perlu diajarkan bagi para petobat baru. Akibatnya banyak jemaat yang masih bingung bahkan punya pemahaman yang salah mengenai ajaran ini. Padahal jika diperhatikan dengan baik, ajaran ini selalu menjadi pokok penting di setiap pembahasan Paulus dalam surat-suratnya.
Karya Penyelamatan tidak dimulai pada zaman Yesus, tetapi sejak kekekalan Ia telah memulai karya ini. Ada orang yang berfikir bahwa karya keselamatan hanya dikerjakan oleh Yesus dan selebihnya adalah pekerjaan kita. Itulah sebabnya penulis berharap melalui penulisan ini, dapat menjelaskan bagaimana Pribadi Bapa, Anak dan Roh Kudus berkarya dalam keselamatan orang percaya. Sehingga dalam pembuatan makalah ini penulis mengambil Judul : “KARYA PENYELAMATAN ALLAH TRITUNGGAL”. Penulis tahu bahwa ini sulit menjelaskan semuanya dalam 12 halaman, tapi setidaknya memberikan gambaran yang singkat.

BAB II
KONSEP KESELAMATAN DALAM IMAN KRISTEN
Latar Belakang Karya Penyelamatan Allah
            Pada mulanya ketika Allah menciptakan langit dan bumi serta segala isinya, Alkitab beberapa kali berkata bahwa semua diciptakan dalam keadaan baik adanya (Kejadian 1:31), bahkan manusia diciptakanNya menurut gambarNya (Kej. 1:26,27). Lebih dari pada itu manusia diberikan kuasa atas segala ciptaan lainnya (kej 1:28). Ciptaan Allah begitu indah. Akan tetapi ketika saat membaca selanjutnya kisah dalam kejadian 3, terjadi sebuah peristiwa yang sangat mengerikan. Ciptaan yang tadinya semuanya indah dan baik adanya, rusak karena pelanggaran Adam dan Hawa terhadap perintah Tuhan. Kehendak bebas (free will) yang diberikan Allah kepada manusia akhirnya lebih memilih untuk melawan perintah Allah.  Peristiwa dalam kejadian 3 ini telah mengubah status manusia menjadi mahkluk yang tidak bisa mengelak dari kematian. Manusia menerima konsekuensi dari pelanggaran mereka ( Kej 2:17). Pelanggaran Adam dan Hawa membuat semua ciptaan lainnya (Kej 3:18) dan bahkan semua keturunannya harus menerima konsekuensi dari dosa itu. Daniel Ronda menyebutnya “Dosa Warisan”[3] (Roma 3:23; 5:12; 6:3; Efs 2:1; Kol 2:13; Ibr 9:27).
Kematian manusia bukan hanya sekedar menanggung kematian secara fisik, tetapi lebih dari pada itu, yakni kematian rohani atau Kerusakan Moral secara total/ Total Divrivity (Ef 2:1), yang berarti bahwa keterpisahan dari Allah selama-lamanya. Dengan demikian, Sama halnya dengan seorang yang mati secara fisik tidak akan bisa berespon apa-apa ketika di berikan hal-hal jasmani, demikian dengan orang yang mati secara Rohani juga tidak akan berespon ketika mendengar atau melihat hal-hal yang Rohani. Orang yang mati secara rohani tidak akan bisa berespon kepada hal-hal rohani. Segala kehendaknya hanya melakukan hal yang jahat dimata Tuhan. Alkitab secara tegas menyatakan bahwa sebaik apapun moral seseorang, bagi Allah itu adalah adalah sebuah kejijikan (Yesaya 64:6). Bahkan akibat dosa, sebenarnya kecenderungan manusia hanya untuk melakukan yang jahat di mata Tuhan.[4] Tidak ada jalan bagi manusia untuk bisa kembali kepada Allah. Dengan kata lain manusia tidak akan bisa menyelamatkan dirinya sendiri. hubungan itu hanya akan terjalin kembali ketika Allah yang mencari manusia. ( Kej 3:...; Yoh 15:16).
Karya Penyelamatan Allah Tritunggal
Allah adalah kasih adanya (1 Yoh 4:8). Kejatuhan manusia dalam dosa memutuskan hubungan Allah dan manusia, tetapi tidak menghilangkan kasih Allah kepada Manusia (Yoh 3:16). Allah membenci dosa tetapi mengasihi manusia, sehingga ini menjadi seperti sebuah “Dilema”. Dosa harus dihukum (Rom 6:23), tetapi disisi lain Allah mengasihi manusia yang berdosa (Yer 31:3). Lalu bagaimana cara Allah mempertemukan antara penghukuman dan kasihNya? Karya Allah Teritunggal terlihat jelas dalam “Rencana kekal” Allah. Paulus menggambarkan hal ini secara jelas dalam Efesus 1:3-14.
Allah Bapa Merencanakan Karya Penyelamatan
( Pemilihan/Predestinasi, Panggilan Allah dan kelahiran kembali)
Pilihan/Predestinasi
Karya Allah dimulai dari pemilihan Allah sejak sebelum dunia dijadikan (Ef. 2:6). Pemilihan ini dilakukakanNya berdasarkan kedaulatanNya secara penuh. Ia tidak berkewajiban untuk memilih siapapun, karena sebenarnya semua orang telah kehilangan kemuliaan Allah. (Rom 3:23).[5] Hanya karena oleh kasihNya, Ia memilih (walaupun itu tidak harus bagiNya) menyelamatkan sebagian orang untuk menikmati kemuliaanNya.[6] Pemilihan ini juga disebut sebagai “Perdestinasi”. Menurut Abraham Park, “Takdir mutlak ini bukan berdasarkan pada pekerjaan yang baik, perbuatan mulia... Hanya oleh kehendak Allah yang berdaulat.”[7] Lalu, bagaimana dengan orang yang tidak dipilih? Doktrin ini tidak muda untuk dipahami tetapi ada dua pandangan yang berbeda mengenai pertanyaan ini. Ada sebagian orang berpendapat bahwa Allah secara aktif menetapkan orang-orang yang akan binasa (Amsal 14:6; Yoh 17:12; Luk 22:22; Yud 1:4); Sedangkan sebagian orang berpendapat bahwah Allah membiarkan mereka, artinya Allah tidak secara aktif menentukan mereka untuk binasa. Akan tetapi apa yang penting bahwa manusia yang tidak dipilih, binasa karena dosanya sendiri bukan karena ditentukan untuk binasa atau bukan karean tidak dipilih, sehingga Allah tidak bertanggung jawab atas kebinasaan mereka. Mereka binasa karena dosanya sendiri ( Luk 22:22).
Panggilan Allah
Ada dua jenis panggilan Allah:
1.      Panggilan Umum, merupakan Panggilan atau tindakan Allah menawarkan keselamatan kepada semua orang tanpa terkecuali. Panggilan keselamatan ditujukan kepada semua manusia. panggilan ini dapat ditolak atau diterima oleh manusia (Matius 11:28; Yohanes 3:16; Matius 28:19,20; Mat 22:9).
2.      Panggilan Efektif, panggilan ini hanya ditujukan kepada orang-orang pilihanNya. Panggilan ini begitu kuat, karena Allah sendiri yang memanggil walaupun kadang Dia menggunakan berbagai sarana untuk memanggil orang-orang pilihanNya, termasuk juga dengan menggunakan panggilan umum. Panggilan Efektif tidak dapat ditolak. Bagaimana pun kita harus mengakui bahwa Allah bekerja dalam diri manusia sehingga bisa menerima Panggilan itu ( Filipi 2:13; 1 Kor 12:3)
Kelahiran Kembali
Semua manusia yang telah mati secara rohani (Efs 2:1) tidak lagi mampu merespon terhadap hal-hal yang rohani. Dengan kata lain, tidak ada kemauan untuk kembali kepada Allah. Itulah sebabnya diperlukan kelahiran kembali. Kelahiran kembali merupakan tindakan Allah untuk memberikan kehidupan rohani kepada manusia untuk bisa berespon terhadap Injil.[8] Itulah sebabnya dalam pengalaman pribadi kita, James M. Boice berkata: “Langkah pertamanya adalah kelahiran kembali secara Rohani”.[9]
Seorang yang tidak dilahirkan kembali tidak akan mampu berespon kepada kasih karunia atau keselamatan yang di tawarkan oleh Allah (Yoh 6:44).  Kelahiran kembali sepenuhnya dikerjakan oleh Allah (Yoh 6:65). Kalau manusia bisa bersepon terhadap Injil, karena manusia itu telah dilahirkan kembali.[10]
Kristus melaksanakan Karya Penyelamatan
( Pengorbanan, Penebusan/Pengampunan dan pembenaran)
Setelah melihat peran Bapa dalam merencanakan keselamatan, selanjutnya, penulis akan menjelaskan bagaimana karya itu dilaksanakan oleh pribadi kedua dari Tritunggal - oleh AnakNya yang tunggal Yesus Kristus.
Pengorbanan
            Pengorbanan Kristus bukan hanya terjadi diatas kayu salib, tetapi terjadi sejak Ia berinkarnasi dan menjadi seorang manusia sejati. Seperti yang dapat dilihat dalam Filipi 2:6,7, dimana Ia “Yang walaupun dalam rupa Allah, . . . telah mengosongkan diriNya sendiri dan menjadi sama dengan manusia”. Ia adalah Allah yang empunya segala yang ada, tetapi datang dalam sebuah keadaanNya sebagai manusia yang hina. Ia Taat kepada Bapa sampai Dia harus mati diatas kayu salib untuk menggantikan manusia yang seharusnya dihukum karena dosa. John Calvin pernah berkata: “Anak Allah menjadi Anak Manusia sehingga anak-anak manusia menjadi anak-anak Allah.
Penebusan
Dalam konsep Perjanjian lama, Tidak ada pengampunan dosa tanpa korban yang disembelih. Itulah sebabNya Ibrani 9:22 menegaskan bahwa “. . . Tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan”. Sehingg Kristus sendiri datang menjadi korban pendamaian untuk segala dosa manusia (1 Yoh 2:2).  Kematian Kristus telah membuktikan keadilan Allah yang harus menghukum dosa, sekaligus membuktikan kasihNya yang begitu besar kepada manusia. seluruh murka Allah telah ditimpahkan kepada Kristus diatas kayu salib. Kematian Kristus juga digambarkan sebagai pembayaran utang dosa (Mat 20:28).  Masalah yang muncul adalah, apakah Yesus mati bagi semua orang atau hanya bagi orang pilihan saja? Untuk menjawab pertanyaan ini, prinsip yang tidak bisa dilupakan adalah “Barangsiapa yang percaya akan diselamatkan, yang tidak percaya akan binasa”. Hanya orang yang dilahir barukan yang bisa percaya. Dan hanya orang pilihan yang akan menerima Roh kudus untuk bisa lahir baru dan percaya dan bertobat kepada Kristus.
Pembenaran Di dalam Kristus
            Kata “Pembenaran” sering dipakai dalam pengadilan untuk menyatakan seorang dinyatakan salah atau benar. Hakim berhak menyatakan seorang salah atau benar. Pembenaran di dalam Kristus diartikan bahwa ketika detik pertama seorang percaya kepada Kristus, kebenaran Kristus menjadi kebenarannya juga. Detik pertama ketika menjadi pengikut Kristus, dia disatukan dengan Kristus ( Roma 8:10; Kol 1:27; Yoh 15:7), sehingga Allah tidak lagi melihat manusia yang penuh dengan dosa, tetapi melihat Kristus yang ada dalam diri orang percaya yang penuh dengan kekudusan ( Yoh 17:19). Yesus tidak berdosa, sehingga ketidak berdosaan Kristus menjadi bagian orang percaya.
            Kesatuan orang percaya dengan Kristus dapat digambarkan seperti hubungan pernikahan, dimana ketika seorang telah menikah, maka: “Apa yang menjadi milik istri menjadi milik suami, demikian juga apa yang menjadi milik suami juga menjadi milik istri”.[11] Apa yang menjadi miliki orang percaya? Dosa, ketidakbenaran, ketidak adilan, kenajisan, dll. Itu sudah diberikan kepada Kristus dan Dia telah memikulnya diatas kayu Salib. Apa yang dimiliki Kristus? Kebenaran, kekudusan, ketaatan, dll. Juga diberikan kepada setiap orang percaya. Jadi, orang Kristen dibenarkan bukan karena usahanya untuk melakukan yang benar, tetapi kebenaran Kristus itulah yang membenarkan orang percaya. Itulah sebabnya bukan hanya kelahiran, kematian, dan kebangkitan Kristus yang penting bagi orang Kristen, tetapi juga seluruh kehidupanNya. Karena ketaatanNya juga penting sebagai dasar bagi orang percaya dibenarkan.
            Menurut Paul Ellis, ketika orang percaya jatuh dalam dosa, Ia tidak sedih dan marah lagi karena dosa itu, karena kemarahanNya sepenuhnya sudah ditimpakan kepada Kristus, hanya Dia bersedih karena dosa membuat anak-anakNya tidak bisa menikmati hadiratNya.[12] Allah tidak menghakimi dosa yang sama dua kali. Ia telah menghukum semua dosa diatas kayu salib. Inilah pembenaran di dalam Yesus Kristus.
Roh Kudus Menyelesaikan Karya Penyelamatan
( Iman, Pertobatan, Pengudusan, adopsi dan ketekunan orang Percaya, )
Setelah membahas bagaimana Yesus melaksanakan karya penyelamatan Allah, kita akan melihat bagaiman karya Allah dalam menyelesaikan keselamatan melalui Roh Kudus. Iman, pertobatan dan Pengudusan, adopsi, dan ketekunan orang percaya  pekerjaan Allah melalui  Roh kudus yang memampukan orang percaya tetap terjaga keselamatannya.[13]
Iman
            Iman adalah karya Roh kudus yang harus ada dalam proses keselamatan.[14] Beberapa ayat yang menegaskan hal ini, Ibrani 11:6 “Tanpa Iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah”. Demikian juga dengan Efesus 2:8,9 “Sebab karena kasih Karunia kamu diselamatka oleh iman...”. Iman yang benar dan menyelamatkan adalah iman yang mencakup pengetahuan (akal), Pengakuan (mulut) dan kepercayaan (dalam Hati).[15] Dengan demikian secara otomatis akan menimbulkan pertobatan.
Pertobatan
            Pertobatan merupakan penyesalan secara mendalam dan tulus dari seseorang karena dosa, serta komitmen yang baru untuk taat kepada Kristus.[16] pertobatan di terjemahkan dari kata Yunani “μετανοια” yang berarti “Perubahan Pikiran”.[17] Artinya ketika seorang telah disatukan dengan Kristus, dia akan memiliki pikiran yang baru. Kemungkinan untuk tetap jatuh dalam dosa tetap akan ada, tetapi akan sangat berbeda, karena sebenarnya seorang yang telah bertobat pasti tidak mau jatuh dalam dosa, sehingga dia akan sangat terpukul dan tidak akan mau jatuh lagi. Dengan kata lain, dia akan membenci dosa. Penulis ingin menggambarkan antara orang bertobat dengan orang yang belum bertobat itu seperti perbedaan antara ayam dan bebek yang jatuh kedalam air. Perhatikan jika ayam jatuh dalam air, ia tidak akan merasa tenang disana karena bukan tempatnya, sehingga ia akan berusaha untuk keluar dari air. Berbeda halnya dengan bebek, ia tidak akan berusaha untuk keluar dari dalam air, justru ia akan menikmati berenang di dalam air, karena itu adalah tempatnya.
Pengudusan
            Banyak orang Kristen memahami salah arti kekudusan. Ada yang berfikir bahwa kekudusan diperoleh ketika seseorang dapat menaati peritah Tuhan dalam Alkitab. Paham ini keliru, karena sebenarnya tidak ada satupun yang bisa manusia lakukan untuk menjadi kudus. Itu adalah karya Roh kudus dalam diri orang percaya. Pengudusan ada tiga macam: Pertama,  pengudusan Secara status. Paulus sering menyebut jemaat sebagai orang kudus (Rom 1:7; Efe 1:1,Fil 1:1, dll). Orang percaya sudah dikuduskan (1 Kor 6:11).[18]  Namun dalam perjalanan terkadang orang percaya tidak hidup sesuai dengan statusnya/identitasnya sehingga ada pengudusan yang Kedua, pengudusan secara Progresif, dimana pengudusan ini berlaku sepanjang hidup orang percaya. Setiap hari semakin dikuduskan. itulah sebabnya 1 Petrus 1:16 berkata “Kuduslah kamu sebab Aku kudus”. Penulis surat ini bukan bermaksud untuk meminta kita memperoleh pengudusan, tetapi justru karena kita sudah dikuduskan sehingga kita perlu hidup sesuai dengan identitas atau status kita. Ketiga, pengudusan secara Final akan terjadi ketika orang percaya telah masuk surga dimana tidak ada lagi kemungkinan untuk jatuh dalam dosa. Orang percaya akan hidup sesaui dengan identitasnya. 
Adopsi
            Detik pertama ketika seorang menjadi percaya, Ia diangkat menjadi anak-anak Allah ( Yoh 1:12) atau di adopsi, sehingga status orang percaya bukan lagi sebagai musuh Allah (Roma 5:10) melainkan anak-anak yang sangat di kasihi. Status sebagai anak-anak Allah ini penting, karena ketika kita menjadi anak, tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih Bapa. “Bapa mengasihimu ketika engkau baik, dan Ia mengasihimu ketika engkau nakal”.[19] Ia mengasihi anak-anakNya sepanjang waktu dengan kasih yang kekal. Seperti layaknya seorang Bapa yang baik, Ia mengasihi anak-anakNya terlepas dari perilaku mereka. Apapun keadaannya, tidak akan mengubah statusnya. Kasih Bapa bukan kasih yang bersyarat, tetapi tanpa syarat.
Ketekunan Orang Percaya
            Ketekunan orang-orang percaya adalah karya Roh Kudus dalam diri manusia yang memampukan manusia untuk hidup taat kepada Allah sebagai cara Allah menjamin keselamatan orang percaya. Penulis percaya, “Sekali selamat tetap selamat”. Itu berarti bahwa keselamatan tidak akan hilang karena tidak bergantung pada manusia melainkan bergantung pada kuasa Roh Kudus yang terus memampukan orang percaya selalu taat. Jadi, sangat keliru kalau ada orang percaya yang mengaku telah diselamatkan tetapi masih memiliki pola hidup yang sama sebelum menjadi orang percaya.
BAB III
PAHAM-PAHAM YANG KELIRU MENGENAI KESELAMATAN
Antinomianisme Dan Legalisme
            Sejak Reformasih protestan, ada dua pemahaman ekstrim yang biasa dilakukan ketika salah memahami Injil yang Alkitabiah yakni Antinomianisme dan Legalisme. Kedua istilah ini berasal dari kata latin dan Yunani yang berarti “Hukum”.[20]
1.    Legalisme, adalah pandangan yang menganggap bahwa segala yang diberikan Allah bagi kita adalah merupakan hasil kerja kita. Ketika kita melakukan kebaikan, Allah berhutang untuk memberkati kita dengan kebaikan kita.[21] Legalisme bukan hanya percaya bahwa kita diselamatkan melalui perbuatan baik, tetapi juga melihat kasih Allah yang sifatnya bersyarat atau tergantung pada apa yang bisa kita lakukan. Paham ini juga banyak ada dalam gereja yang terlalu menekankan Moralitas dan sedikit mengabaikan Injil. Sebenarnya ada banyak orang yang berfikir seperti ini, di mulut mereka mengaku diselamatkan oleh Anugrah Allah, tetapi dalam kenyataan mereka selalu mengandalkan ibadah dan kebenaran diri sendiri.
Jika pemahaman ini benar, maka penulis yakin bahwa surga akan dipenuhi oleh orang-orang sombong, yang dimana akan saling memperlihatkan kemampuannya bagaimana bisa sampai ke surga.
2.    Antinomianisme, terdiri dari tiga kata, “Anti” berarti “Berlawanan”, “Nomos” berarti “Hukum” dan “Isme” artinya “Pandangan” atau “ide”. Antinomianisme adalah sebuah penalaran yang keliru dari Karunia Allah dalam injil. Pandangan ini berfikir bahwa kita bisa berhubungan dengan Allah tanpa perlu menaati perkataan dan perintahNya. Pandangan ini terlalu melebih-lebihkan kasih Allah dan lupa sifat allah yang lainnya, mereka lupa keadilan, kekudusan dan kesucian Allah. Mereka sama sekali tidak peduli terhadap perilaku manusia, mereka lupa bahwa Alkitab juga banyak bicara mengenai Upah.
Hyper Grace dan Hyper Calvinisme
            Kedua pandangan ini kadang sulit untuk dibedakan. Bahkan mungkin beberapa orang mengidentikkannya. Pada dasarnya kesimpulan yang diambil oleh kedua pandangan ini hampir sama, tetapi perbedaan yang sangat menonjol pada penekanan masing-masing. Hyper Calvinisme menitikberatkan keselamatan pada Presdestinasi, sedangkan Hyper Calvinis melatakkan konsepnya pada dasar salib Kristus. Penulis berfikir bahwa konsep atau dasar Teologi mereka sangat cukup Alkitabiah, tetapi kesimpulan yang mereka tarik sangat keliru. Interpretasi mereka terhadap kasih karunia Allah justru membawah kepada paham yang salah:
1.    Hyper Grace,[22]  menganggap bahwah pengampunan sudah diberikan Tuhan sehingga orang Kristen tidak perlu lagi minta ampun dan mengaku dosa kepada Tuhan. Tidak perlu membicarakan dosa dan aturan-aturan hukum yang sifatnya mengikat. Namun mereka lupa bahwa memang pengakuan kita tidak membuat kita di ampuni, tetapi itu menyukakan hati Bapa. Mereka juga lupa bahwa Alkitab baik PL maupun PB bukan hanya bicara soal pemberian Tuhan secara Cuma-Cuma, tetapi juga bicara soal Upah.
2.    Hyper Calvinis, mengemukakan bahwa karena keselamatan sudah ditentukan Tuhan sehingga sebenarnya tidak ada lagi gunanya kita memberitakan Injil dan bisa hidup semaunya karena keselamatan kita dijamin Tuhan. Mereka lupa bahwa bukti seorang yang telah diselamatkan dan di benarkan pasti tidak akan hidup lagi dalam dosa, karena mereka adalah hamba kebenaran.
BAB IV
KESIMPULAN
            Dari semua penjelasan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa doktrin keselamatan adalah doktrin yang sangat Urgen dalam iman Kristen. Pemahaman orang Kristen mengenai keselamatan sangat mempengaruhi tindakan iman seseorang. Karena itu penting sekali gereja menjelaskan pemahaman yang benar kepada jemaat.
            Keselamatan adalah murni karya Allah tanpa andil manusia di dalamnya. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk memegahkan diri. Peran ketiga Pribadi Allah sangat nyata dalam karya penyelamatan Allah, dimana Allah merencanakan, Yesus Kristus melaksanakan Karya itu dan Roh kudus  menjamin serta menyelesaikan keselamatan orang-orang pilihan Allah. Allah telah membenarkan dan menguduskan orang percaya karena kekudusan Yesus, sehingga keselamatan tidak akan hilang. Hal itu bukan berarti bahwa orang kristen bisa hidup semaunya atau tetap hidup dalam dosa, tetapi justru Allah memampukan orang percaya untuk hidup taat sebagai jaminan keselamatan.
            Doktrin pembenaran dan pengudusan merupakan ciri khas dari iman Kristen. Namun, tidak sedikit orang Kristen yang tidak memahami dengan benar ajaran ini. oleh sebab itu penting bagi setiap hamba Tuhan atau calon hamba Tuhan diperlengkapi dengan ajaran ini. Penulis  sangat terinspirasi oleh sebuah buku yang dikarang oleh Tomothy Killer “Preaching” yang menekankan pentingnya Injil disampaikan dalam setiap pemberitaan kita. Killer menekankan bahwa sebenarnya semua topik dalam Alkitab selalu berorientasi pada Kristus.[23] Jadi, bicara apapun tujuan akhirnya adalah membawah orang mengerti Injil. Segala kemuliaan hanya bagi Allah adalah akhir dari seluruh tujuan hidup kita.


[1] Cristofer J. Luthy, Catatan Teologi sistematika III, (Makassar: STTJ) 2018, 2
[2] Cristopfer J. Luthy, Penyampaian dalam materi Kuliah TS III
[3] Daniel Ronda, Dasar Teologia yang Teguh  ( Makassar: STT Jaffray Makassar, 2013), 82
[4] James M. Boice, Dasar-dasar Iman Kristen ( Surabaya: Momentum, 2015), 474.
[5] Hendry C. Thiessen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas, 2015), 393.
[6] Cristofer J. Luthy, Catatan Teologi sistematika III, (Makassar: STTJ) 2018, 6
[7] Abraham Park, Sejarah Penebusan: Pertemuan yang tak Terlupakan ( Jakarta: Yayasan Damai Sejahtera Utama, 2011), 26.
[8] Cristofer J. Luthy, Catatan Teologi sistematika III, (Makassar: STTJ) 2018, 17
[9] James M. Boice, Dasar-dasar Iman Kristen ( Surabaya: Momentum, 2015), 457
[10] Cristofer J. Luthy, Catatan Teologi sistematika III, (Makassar: STTJ, 2018), 18
[11] Ide ini saya dapat dari Dosen, Cristofer Luthy.
[12] Paul ellis, Injil Dalam 10 Kata, ( Indonesia: Light Publishing, 2013),
[13] James M. Boice, Dasar-dasar Iman Kristen ( Surabaya: Momentum, 2015), 467
[14] Ibid, 463
[15] Cristofer J. Luthy, Catatan Teologi sistematika III, (Makassar: STTJ, 2018), 19.
[16] Ibid,. 21
[17] Ibid,. 21
[18] Cristofer J. Luthy, Catatan Teologi sistematika III, (Makassar: STTJ, 2018),43.
[19] Paul ellis, Injil Dalam 10 Kata, ( Indonesia: Light Publishing, 2013), 19.
[20] Timothy Keller, Preaching :Berkhotbah, ( Jawa Timur: Perkantas, 2018), 47.
[21] Ibid,
[22] Sebenarnya ada banyak point-point lain, tetapi menurut penulis kedua pandangan ini yang menonjol.
[23] Timothy Keller, Preaching :Berkhotbah, ( Jawa Timur: Perkantas, 2018),