Senin, 13 Mei 2019

Uang/Kekayaan dalam Perspektif Perjanjian Baru, apakah itu berkat?


BAB I
PENDAHULUAN
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Kedua bagian ini bagaikan sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ada yang berfikir bahwa bagi orang percaya cukup mempelajari dan menghidupi Perjanjian Baru karena Perjanjian Lama tidak begitu begitu penting. Akan tetapi mereka lupa bahwa untuk memahami Perjanjian Baru dengan benar, seseorang harus memahami konteks dimana Perjanjian Baru itu muncul, kenapa ada perjanjian Baru? Hal ini perlu dipertimbangkan dengan matang. Sebaliknya ada juga orang yang terlalu peduli tentang Perjanjian Lama sehingga tidak memahami bahwa sudah ada Perjanjian yang Baru akibatnya banyak orang yang masih membawah konsep Perjanjian Lama kedalam Perjanjian Baru.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Teologi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memiliki konsep Teologi yang cukup berbeda. Salah satu perbedaan yang mencolok adalah mengenai berkat. Dalam Perjanjian Lama konsep berkat selalu dikaitkan dengan hal jasmani, sehingga orang yang diberkati selalu identic dengan kekayaan atau uang. Artinya orang yang takut akan Tuhan dan melakukan apa yang diperintahkan Tuhan akan diberkati dengan berbagai berkat jasmani atau kekayaan dan uang. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dilihat dalam Perjanjian Baru, dimana dalam Perjanjian Baru selalu berfokus pada berkat Rohani.
Fenomena yang banyak dilihat dalam gereja hari ini adalah banyak orang Kristen yang menganggap kekayaan, uang atau kemakmuran adalah berkat yang besar dari Tuhan. Bahkan menurut pengamatan penulis hampir 70-80 persen orang Kristen bersaksi di gereja oleh karena memperoleh hal-hal yang bersifat jasmani. Tidak dipungkiri bahwa semua hal yang baik berasal dari Tuhan, tetapi uang tidak selamanya baik. Melihat fenomena ini, akan muncul sebuah pertanyaan penting, apakah uang atau kekeyaan merupakan berkat Tuhan? Mungkin ini akan sedikit kontrofersi, tetapi penulis akan berusaha secara objektif menjelaskannnya dari Perspektif Alkitab.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Berkat Dalam Perjanjian Lama
            Seperti yang telah penulis paparkan pada bagian sebelumnya bahwa Pembahasan konsep Perjanjian Baru tidak bisa dipisahkan dari Perjanjian Lama, oleh sebab itu sebelum masuk dalam pembahasan dari perspektif Perjanjian Baru, maka penulis menganggap perlu untuk sedikit memberikan gambaran konsep Perjanjian Lama mengenai uang.  
            Berkat dalam Perjanjian Lama biasanya selalu diidentikkan dengan hal-hal fisik seperti Kemakmuran, umur panjang, sukses, uang dll, yang diberikan oleh Allah kepada manusia sebagai buah dari ketaatan mereka kepada Allah.[1] Satu contoh yang paling sering digunakan adalah Ulangan 28. Point besar yang bisa dilihat disana adalah berkat-berkat itu disamakan dengan kemakmuran dan hal-hal yang bersifat fisik. Seseorang akan diberkati atau dengan kata lain akan mendapat hal-hal jasmanai itu kalau mereka taat kepada perjanjian Tuhan. Demikan pula sebaliknya, mereka akan dikutuk apabila mereka tidak taat kepada Tuhan. Konsep ini juga bisa dilihat dalam Mazmur 1. Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik….Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. Kata berbahagia juga bisa diterjemahkan “Diberkatilah”, dengan demikian jelas bahwa orang yang diberkati adalah mereka yang berhasil dalam hal fisik.
Ada banyak contoh tokoh Alkitab yang menunjukkan hal ini, misalnya yang paling  lazim adalah Daud dan Salomo (1 Raja-raja 3:13), Bangsa Israel yang diberikan tanah yang baik (Kej 3:8,9), Abraham, Yusuf, dll. Buah dari ketaatan mereka selalu berujung pada berkat yang bersifat jasmani. Karenanya tidak jarang bahwa Allah menyuruh bangsaNya taat supaya mereka tetap diberkati. Ketaatan mereka kepada Tuhan akan menentukan hidup mereka akan mendapat berkat jasmani atau justru sebaliknya adalah kutuk ( Maleakhi 3:10-13; Ula 28).
Konsep Berkat Dalam Perjanjian Baru
Ada berbedaan yang mencolok antara Perjanjian Baru, bahkan cenderung bertolak belakang dengan apa yang dilihat dalam perjanjian Lama. Ketika berbicara berkat, Perjanjian Baru lebih banyak merujuk kepada berkat secara Rohani. Yesus berkata: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di Bumi, sebab ngengat  dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya” ( Mat 6:19-20). Kata “Janganlah” merupakan merupakan sebuah kata larangan. Artinya ini sama dengan perkataan Tuhan Yesus ketika Yesus berkata: “Jangan mencuri” atau “Jangan membenci”. Kalimat ini sama-sama adalah kalimat larangan, artinya tidak boleh.  Mengapa? Jelas alasannya karena jika hanya mengumpulkan harta di Bumi, harta itu pasti akan habis dan tidak bersifat kekal. Demikian juga ketika Yesus berbicara mengenai kekuatiran.[2] Dalam ayat 25-31, Yesus mengajarkan murid-murid untuk tidak perlu kuatir mengenai kebutuhan-kebutuhan yang bersifat jasmani; alasannya jelas, karena Allah akan memelihara anak-anakNya. Tetapi yang menarik bagi penulis, dalam ayat 32, muncul sebuah kalimat “Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah”. Apa yang dimaksud dengan “Semua itu”? tidak lain adalah apa yang telah disebutkan oleh Yesus pada ayat-ayat sebelumnya, yaitu kebutuhan jasmani. Orang yang hanya berusaha mencari dan memenuhi kebutuhannya secara jasmani adalah satu tanda bahwa sebenarnya ia tidak mengenal Allah. Dengan kata lain, “Tanda Kekafiran”. Dalam Matius 6:24, ada juga sebuah indikasi dimana Yesus sebenarnya sedang mempertentangkan antara Tuhan dan uang. Yesus berkata: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dan Mamon”.


Orang kaya belum tentu diberkati
            Dalam Lukas 6:20, ada sebuah gambaran yang jelas bagi kita yang menunjukkan bahwa Yesus tidak tertarik dengan kekayaan, bahkan cenderung ingin menunjukkan bahwa sebenarnya kekayaan adalah sebuah kutuk dan justru orang yang diberkati adalah orang yang miskin. Ada orang yang menganggap ini adalah kemiskinan secara rohani, tetapi menurut penulis ini adalah kemiskinan secara literal. Penulis mengutip komentar Matthew Hendry  “… Namun demikian, engkau diberkati dalam kemiskinanmu, Karena kemiskinan sama sekali tidak akan merusak kebahagiaanmu. Sungguh bahkan engkau diberkati karena kemiskinanmu…”[3] Kebenaran ini juga dapat dilihat dalam sebuah kisah Lazarus dan orang kaya yang Yesus sampaikan dalam Lukas 16:19-31. Yesus sekali lagi menunjukkan bahwa orang yang kaya tidak menunjukkan bahwa ia diberkati.
Kekayaan adalah Berkat palsu (Lukas 12:20-21)
            Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah."[4] Ayat ini memberi sebuah pemahaman yang baru bagi pada Murid bahwa mengumpulkan harta di dunia adalah sebuah kebodohan. Yesus juga berkata, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada Kekayaannya itu (Luk 12:15). Dalam konteks ini ada sebuah pertengkaran mengenai persoalan harta. Respon Yesus bukan mendorong yang lainnya untuk berlaku adil atau pun memberikan solusi kepada kedua pihak, tetapi Yesus memberikan sebuah respon yang berbeda. Dengan kata lain, ia berkata, “Semua ini bukanlah kekayaan yang sejati; semua ini bukanlah hal-hal yang patut diperjuangkan”[5]. Semua ini adalah kekayaan yang terlihat yang sifatnya hanya sementara; sedangkan kekayaan-kekayaan yang lebih baik dan menetap sifatnya tidak kelihatan.
Demikian juga gambaran yang jelas dapat dilihat ketika ada seorang muda yang kaya datang kepada Yesus (Lihat Matius 19:16-26).[6] Yesus tidak tertarik dengan kekayaan pemuda itu justru Yesus berkata: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." Memang ada indikasi bahwa orang yang mengikut Yesus seharusnya mereka yang tidak bergantung pada hartanya. Kemudian Yesus menegaskan lagi bahwa orang kaya sangat sulit masuk kedalam kerajaan sorga (Ayat 24). Dari beberapa ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa Yesus sama sekali tidak tertarik dengan hal-hal yang bersifat jasmani. Bahkan dalam Luk 6:24, Yesus mengutuk orang kaya: “Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu”. Yesus juga berkata: “Barangsiapa yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat 16:24). Ayat-ayat seperti ini tidak dapat dijawab oleh para penganut Teologi Kemakmuran. Ia selalu mengarahkan pengajaranNya kepada hal-hal yang bersifat kekal yaitu hal kerajaan sorga.
Kekayaan Menciptakan Peluang untuk Jatuh
            Ada seorang penulis berkata: “90% orang diuji dengan Kekayaan dan kemakmuran pasti jatuh; sebaliknya orang yang diuji dengan penderitaan dan penganiayaan 90% pasti lulus”.[7] Oleh sebab itu, sebenarnya kekayaan tidak selalu berdampak baik, bahkan selalu cenderung berdampak buruk. “Waspadalah terhadap ketamakan”. kata waspadalah menunjukkan sebuah tanda hati-hati. Biasanya kalau orang berkata “Waspadalah” itu karena ada sebuah bahaya yang akan mengancam yang dianggap berpotensi untuk menghancurkan atau merusak. Misalnya, “Waspadalah ada anjing beranak”. Tulisan itu ditempel oleh karena ingin menghindarkan orang dari gigitan Anjing yang ganas.
            Paulus berkata: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh kedalam pencobaan, kdalam jerat dan kedalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia kedalam keruntuhan dan kebiasaan” (1 Tim 6:9). Disini tidak disebutkan mereka yang kaya, tetapi yang “Ingin Kaya”. Sebuah keinginan untuk menjadi kaya adalah sebuah keserakahan yang menurut Paulus adalah bahaya yang sangat mengancam untuk menjatuhkan manusia. Kalau manusia tidak dapat lagi membedakan antara keinginan dan kebutuhan maka manusia itu pasti serakah.[8]
Teladan Dalam Perjanjian Baru
            Berbicara mengenai teladan yang baik, tidak ada teladan yang lebih sempurna selain Yesus dalam seluruh isi Alkitab. Penulis berfikir bahwa ketika Yohanes berkata: “Barang siapa mengatakan bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup”, salah satu hal yang sedang dibicarakan Yohanes adalah mengenai kesederhanaan hidup Yesus. Dalam Lukas 9, ketika seorang murid menyatakan komitmen untuk mengikut Yesus, Dia memberikan sebuah ilustrasi yang menarik: “Serigala mempunyai liang….. tetapi anak manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya”. Yesus ingin menyatakan bahwa kalau mau mengikut Dia oleh karena ingin kaya, Ia tidak punya apa-apa dalam sisi kemanusiaanNya. Inilah ekspresi dari “Pengosongan diri” yang Yesus lakukan.[9] Ia tidak menjamin bahwa orang yang mengikut Dia akan hidup dalam kekayaan. Yesus hidup dengan sangat sederhana. Lagi pula dalam doa Bapa Kami (Mat 6:9-13), Yesus mengajarkan muridNya untuk meminta makanan yang secukupnya saja.
            Ketika Yesus akan ditangkap, kita tahu bahwa Yudas menciumnya terlebih dahulu untuk memberikan tanda kepada para prajurit bahwa itulah Yesus (Matius 26:48, Mark 14:44). Pertanyaannya, bagaimana mungkin para prajurit tidak mengetahui yang mana pemimpin diantara rombongan itu? Paling tidak, seorang pemimpin punya ciri tersendiri, tetapi menarik bahwa prajurit-prajurit ini tidak bisa membedakan antara Guru dan muridnya. Apa yang bisa dilihat bahwa Yesus mempunyai penampilan yang tidak berbeda dengan para muridNya. Ia sama dengan muridNya, sederhana seperti muridNya.
            Selain itu, jemaat mula-mula juga tidak menunjukkan bahwa setelah mereka percaya kepada Yesus, hidup mereka “Diberkati” dengan kekayaan.[10] Justru mereka menjual harta mereka dan membagi-bagikannya dengan saudara-saudara mereka yang sedang kekurangan. ( Kis 4:34,35). Mereka bersukacita bahkan dalam kesulitan ekonomi yang luar biasa. Menarik bahwa kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang berlatar belakang Yahudi yang notabene mereka penganut paham bahwa penderitaan dan kemiskinan adalah sebuah kutuk. Mungkin pembaca hari ini-Alkitab berfikir bahwa hal ini bukanlah hal yang muda bagi mereka tetapi justru melihat tulisan-tulisan Paulus memberikan gambaran kepada kita bagaimana pemahaman mereka diubah ketika Percaya kepada Yesus (Lihat Filipi 4:12, Fil 1:29, Kis 5:41). Bahkan Darmawan S Bone ketika membaca Filipi 1:29, ia berkata, keselamatan dan penderitaan merupakan suatu paket yang tidak dapat dipisahkan, kita tidak bisa menerima satu bagian dan menolak bagian yang lainnya.[11]
Sikap Terhadap Uang/Kekayaan
             Melihat ayat-ayat diatas, semakin jelas bagi kita bagaimana seharusnya orang percaya memandang kekayaan dalam perspektif yang benar. Perlu di garis bawahi bahwa ajaran-ajaran diatas tidak pernah mempersalahkan Uang atau kekayaan. Tidak ada juga larangan untuk seseorang menjadi kaya. Adalah sebuah kekeliruan besar apabila ada orang Kristen yang memahami bahwa ajaran Perjanjian Baru mengajarkan pengikutnya supaya hidup miskin, atau menganggap bahwa ini adalah alasan bagi orang Kristen untuk tidak usah bekerja dan bermalas-malasan. Tentu ini bukan point Yesus ataupun penulis-penulis Perjanjian Baru lainnya.  
Walaupun Yesus hidup dalam kesederhanaan, tetapi Ia tidak perna melarang murid-muridNya untuk tidak bekerja. Justru Ia juga membantu para murid untuk pergi menjala ikan ( Matius 4:18). Kita tahu bahwa Yesus adalah seorang anak tukang kayu, walaupun tidak diceritakan bagaimana kehidupan Yesus pada masa mudaNya, tetapi penulis bisa menebak bahwa pekerjaan sehari-hariNya adalah membantu yusuf melakukan pekerjaannya. Ini adalah sesuatu yang wajar bagi seorang anak Yahudi untuk membantu orang tuanya melakukan pekerjaan ayahnya. Dalam beberapa teks, juga kita menemukan bahwa Yesus juga mengajarkan muridNya bagaimana supaya mereka menerima sesuatu yang bersifat jasmani, misalnya, Matius 7:7, “Carilah maka kamu akan mendapat”. “Apa saja yang kamu minta dalam nama-Ku kamu akan menerimanya” (Yoh 15:7). Ketika Yesus mengutus murid-muridNya, Yesus juga berpesan untuk tidak usah membawah apa-apa, oleh karena “ Seorang pekerja patut mendapat upahnya”. Demikian juga ketika Yesus mengajarkan bahwa siapapu yang memberikan secangkir air putih, ia tidak akan kehilangan upah, Yesus sedang mengacuh kepada kebutuhan jasmani.[12]
            Paulus juga mendorong jemaat di Tesalonika untuk giat bekerja.  “….Kami memperingatkan ini kepada kamu: ‘Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan’”. ( 2 Tes 3:10). Rupanya situasi dalam jemaat Tesalonika ada jemaat yang tidak mau bekerja dengan kata lain bermalas-malasan, “…sibuk dengan hal-ha yang tidak berguna…”, kita tidak tau apa yang membuat jemaat ini sibuk sampai tidak bekerja, tetapi Paulus menegaskan kepada mereka untuk bekerja supaya mereka bisa makan dari hasil jerih payahnya sendiri (ayat 12).
            Lalu, apa yang harus menjadi awasan? Yesus tidak mempersalahkan uang, karena uang itu netral. Demikian juga Paulus tidak menganggap uang adalah dosa.[13] Tetapi yang harus diwaspadai adalah cinta uang dan ketamakan. “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagi dukua” (1 Tim 6:10).
Fungsi Uang/Kekayaan
            Mempergunakan uang untuk hal-hal yang tidak benar merupakan sebuah perilaku yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Yesus berkata: “Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal mammon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya?” (Luk 16:11). Mamon adalah dewa kekayaan yang banyak disembah orang-orang di Palestina.[14] Apabila uang atau kekayaan hanya digunakan untuk memuaskan diri sendiri,  itu bukanlah prinsip yang diajarkan dalam Alkitab. Uang seharusnya menjadi alat untuk membangun kerajaan Allah. Dalam surat-suratnya, Paulus seringkali mendorong jemaat untuk membantu pelayanan Misi dan membantu para janda dan orang Miskin.
            Ada banyak contoh/teladan yang bisa dilihat dalam Perjanjian Baru, bagaimana uang digunakan oleh jemaat mula-mula.  Dalam kisah Para Rasul kita melihat gambaran yang jelas bahwa walaupun jemaat mula-mula kebanyakan berasal dari orang-orang yang miskin, mereka tetap menjual semua apa yang mereka miliki dan membagi-bagikannya kepada yang lain. Dalam bagian akhir suratnya kepada jemaat Korintus, Paulus meminta supaya jemaat mengumpulkan uang untuk membantu jemaat di Yerusalem (1 Kor 16:1-4). Demikian juga dengan suratnya yang kedua, ia mendorong jemaat Korintus untuk membantu pelayanan orang-orang kudus sesuai dengan kerelaan hati (2 Kor 9:6-14)


BAB III
IMPLEMENTASI BAGI KEHIDUPAN ORANG PERCAYA MASA KINI
            Uang adalah kebutuhan yang sangat penting dan mendasar bagi setiap orang. Bahkan saya pernah membaca sebuah slogan yang teman kirimkan melalui WA : “Uang memang tidak dibawah mati, tapi tanpa uang rasanya mau mati”. Semua orang membutuhkan uang. Sebuah gereja yang besar dan megah tidak akan terbangun tanpa menggunakan uang, percetakan Alkitab dan buku-buku rohani tidak akan jalan tanpa uang, bahkan penginjilan akan susah berjalan tanpa dukungan finansial yang cukup. Itulah sebabnya tidak heran apabila ada banyak orang yang menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan uang.
            Salah satu ajaran yang telah merasuki ajaran Kristen dan banyak jemaat Kristen adalah ajaran Teologi Kemakmuran atau yang lebih dikenal Teologi Sukses yang diajarkan oleh Norman Vincent, Robbert Schuller, Paul Yonggi Cho dan beberapa tokoh-tokoh lainnya.[15] Mereka mengajarkan bahwa “Allah kita adalah Allah yang besar, kaya dan penuh berkat dan manusia yang beriman pasti akan mengalami kehidupan yang penuh berkat pula, sukses, kaya, dan berkelimpahan materi”.[16] Jadi, pandangan ini mengajarkan bahwa kalau kita hidup miskin berarti kita kurang percaya. Ajaran-ajaran ini sangat memperngaruhi dunia kekristenan. Ada banyak orang yang diseret dan dibawah kepada sebuah kesesatan.
            Dalam Bab sebelumnya penulis telah mengungkapkan bagaimana pandangan Perjanjian baru mengenai harta dan kekayaan. Kesalahan terbesar dari para penafsir teologi kemakmura adalah penafsiran yang subjektif dimana mereka hanya menggunakan Alkitab sebagai alat untuk mendukung argument mereka tanpa melihat maksud dari keseluruhan Alkitab.
            Setiap orang percaya seharusnya memandang uang sebagai sesuatu yang netral. Allah harus selalu jadi focus utama. Uang bisa dijadikan sarana untuk memuliakan Allah, membantu pekerjaan Tuhan melalui Misi, membantu orang orang-orang dalam kekurangan. Demikian juga cara mendapatkan uang, orang percaya seharusnya tidak “Menggunakan Allah” untuk mendapatkan uang, seperti yang diajarkan oleh Teologi Kemakmuran. Seharusnya kita mencari Allah dan percaya bahwa Allah sanggup menyediakan segala kebutuhan kita (Mat 6:33).
            Uang tidak selalu bisa didefinisikan sebagai “Berkat” Tuhan. Kadang-kadang itu adalah kutuk. Sehingga adalah sebuah kekliruan besar apabila ada orang Kristen yang terlalu membangga-banggakan uang dan kekayaan sebagai sebuah berkat. Orang Kristen harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhannya. Ingat bahwa Paulus juga mencari uang dengan menjadi seorang pengusaha kemah, tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhannya. Bukan untuk kelihatan kaya, bukan untuk memenuhi keinginan semata. Yesus mengajarkan murid-murdiNya untuk meminta sesuai dengan kebutuhan: “Berikanlaha kami makanan kami yang secukupnya” (Mat 6:11).
            Jadi, apakah ada batasan sampai dimana kita seharusnya memiliki uang? Tidak ada. Sekali lagi uang tidak bersalah. Tetapi Alkitab memberikan prinsip yang jelas. Paulus berkata “Asal ada makanan dan pakaian cukuplah”. Demikian juga dengan penulis Ibrani berkata “ janganlah kamu menjadi hamba uang, Cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu (Ibrani 13:5). Yesus tidak melarang orang Kristen menjadi kaya, tetapi mengutamakan kekeyaan lebih dari Tuhan itu yang salah. Paulus tidak membenci uang, tetapi jangan cinta uang. Penulis Ibrani bukan melarang kita mencari uang, tetapi jangan menjadi hamba uang, artinya rela melakukan segala hal untuk mendapatkan uang.
           



BAB IV
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, penulis menyimpulkan bahwa “Uang” dalam Perjanjian lama yang dipahami sebagai berkat berbeda dengan pandangan Perjanjian Baru. Perjanjian Baru tidak selalu menganggap uang sebagai berkat. Walaupun kita harus menggaris bawahi bahwa segala sesuatu yang baik berasal dari Tuhan. Hal ini terlihat jelas dalam ajaran-ajaran Yesus yang tidak terlalu peduli bahkan cenderung mencela kekayaan.  Yesus tidak hanya mengajarkan tetapi juga memberikan teladan kesederhanaan. Yesus berkali-kali memberikan awasan kepada murid-muridNya untuk selalu waspada terhadap kekayaan dan uang.
 Demikian juga dengan ajaran-ajaran Paulus dalam suratnya. Ia selalu menekankan berkat pada hal-hal rohani bukan hal-hal yang bersifat jasmani. Ini juga tidak berarti bahwa Paulus sama sekali mengabaikan perkara tentang uang, karena ia juga meminta supaya jemaat memberikan uang mereka, ia juga mendorong jemaat untuk bekerja, tetapi ia sama sekali tidak tertarik dan mengajarkan bagaimana supaya dapat sesuatu yang bersifat jasmani saja.
Berkat yang seharusnya dikejar oleh orang percaya pada masa kini adalah berkata rohani yakni berkat sukacita keselamatan yang akan diterima pada kekekalan, bukan hal jasmanai yang hanya bersifat sementara. Tetapi kalaupun dalam focus kita terhadap kerajaan surga, Allah berkenan memberikan uang dan kekayaan, hal itu jangan dipandang sebagai sesuatu yang terlalu besar, tetapi seharusnya dipandang sebagai sebuah alat saja yang Tuhan berikan untuk dipakai menggenapi rencana Tuhan dalam keluarga jemaat dan masyarakat secara umum.
Jadi, orang Krsiten seharusnya lebih bijaksana dalam menyikapi isu mengenai uang. Memandang uang dengan perspektif yang benar, mencari uang dengan cara yang benar, dan menggunakan uang dengan cara yang sesuai dengan Alkitab.



[1] Christopher J Luthy, Diktat Teologi Perjanjian Baru (STTJ: Makassar, 2019), 24.
[2] Matus 6:25-34
[3] Matthew Hendry, Tafsiran Matthew Hendry (elektronik versi 1.4.1) (Sabda:Momentum, Mei 2018).
[4] Terjemahan Baru
[5] Paul G. Caram, Kekristenan Sejati (Voice Of Hope: Jakarta, 2007), 58.
[6] Bandingkan dengan Markus 10:17-27; Lukas 18:18-27)
[7] Saya lupa siapa penulis buku ini, tetapi saya pernah membacanya di Perpustakaan.
[8] Erastus Sabdono, Menantang Zaman (Rehobot Literatur: Jakarta, 2017), 95.
[9] Ibid,.), 96.

[10] Gene Gets, Pedoman Lengkap Pendalaman Alkitab: Tentang Uang dan Harta Milik (Kalam Hidup: Bandung, 2008), 101.
[11] Darmawan S. Bone, Jangan Menyerah ( Kalam Hidup:Bandung, 2006), 33.
[12] Gene Gets, Pedoman Lengkap Pendalaman Alkitab: Tentang Uang dan Harta Milik (Kalam Hidup: Bandung, 2008), 100.
[13] Loren Cunningham & Janice Rogers, Berani Hidup Disaat Krisis (Yayasan Andi: Jakarta, 2000), 62.
[14] Edi Leo, Perjanjian Berkat (Metanoia:Jakarta, 2006), 66.
[15] Ir. Herlianto, Teologi Sukses: Antara Allah dan Mamon ( BPK Gunung Mulia:Jakarta, 1993), 17.
[16] Ibid,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar